Bab 14

368K 17.5K 391
                                    

"Tidak tidak tidak, kau tidak boleh tidur di sini."

"Lalu kau tega membiarkanku tidur di sofa? Dengan keadaanku yang seperti ini?" Celin mengamati tubuh Vano yang terlihat mengenaskan, memang seharusnya lelaki itu harus tidur di tempat yang nyaman mengingat keadaannya. Tapi haruskah di ranjang Celin? Bahkan di apartemennya hanya ada 1 kamar saja. Kenapa Vano tidak menyewa hotel saja di luar sana. Celin yakin bahwa Vano tidak akan jatuh miskin hanya karena menginap satu hari di hotel.

"Argghh, oke untuk malam ini saja. Kau boleh tidur di ranjangku."

"Kau mau kemana?" tanya Vano saat melihat Celin mengambil salah satu bantal dari ranjangnya.

"Aku yang akan tidur di sofa," jawabnya sambil menuju sofa yang ada di pojok kamar. Mungkin akan sedikit tidak meyakinkan karena sofanya pasti tidak akan bisa memuat seluruh tubuhnya yang cukup tinggi. Tapi dia tidak punya pilihan bukan.

"Kenapa tidak tidur saja di ranjang, bersamaku. Aku yakin ranjangmu masih cukup untuk menampung kita berdua." Celin membalikkan tubuhnya reflek dan membelakkan matanya. Vano yang tersenyum miring sepertinya mengerti apa yang dipikiran Celin.

"Apa? Kau takut aku akan macam macam denganmu? Apa menurutmu dengan tangan dan kakiku yang seperti ini aku bisa berbuat seperti itu? Mungkin jika keadaanku sehat aku akan melakukannya tapi untuk kali ini aku akan berusaha menahannya." Vano mengedipkan matanya dan kemudian dia merasakan timpukan bantal berada di wajahnya.

"Kau gila. Tutup mulutmu dan tidur saja. Atau kau boleh meninggalkan tempat ini." Celin segera mengambil bantal yang telah dilempar kearah Vano dan membalikkan badannya. Wanita itu merasakan panas yang menjalar di pipinya setelah mendengar perkataan Vano.

Ingat Cel, dia adalah buaya darat. Jangan termakan godaannya.

Vano terkekeh, dan segera menaiki ranjang Celin. Cukup kesusahan karena dia harus meletakkan kruknya , tapi melihat reaksi celin yang langsung berbaring di sofa sepertinya wanita itu tidak mau membantunya.

"Selamat malam," ucap Vano dan langsung mematikan lampu di atas nakas.

***

Celin terbangun dengan punggung yang sakit. Dia bersumpah tidak akan mau lagi tidur di sofa jika akhirnya akan seperti ini.

Celin terduduk dan melihat tubuhnya yang hangat di bawah selimut.

Selimut? Seingatnya tadi malam dia tidak memakai selimut. Saat mengingat sesuatu Celin langsung menolehkan kepalanya kearah ranjang dan tidak menemukan siapa siapa disana.

"Van ...." Celin membuka pintu kamarnya dan memanggil orang yang telah menginap dengan sangat tidak sopan di rumahnya.

Lalu dia melihat Vano yang sedang mengamati sesuatu dengan serius.

"Apa yang kau lihat?"

Celin melihat bahwa fokus Vano ternyata di sekumpulan foto berfigora yang menunjukkan masa kecil Celin dulu. Ada yang masih di taman kanak kanak. Ada Celin yang menaiki sepeda hias waktu SD dan juga foto wisuda SMP, SMA sampai perguruan tinggi.

Tapi satu hal yang mengusik Vano, dalam foto itu Celin tidak menunjukkan raut bahagia dan selalu sendiri. Saat mereka makan malam dulu, Martha bilang bahwa paman bibinya adalah wali dari Celin. Lalu apa orang tuanya sudah meninggal? Sejak kapan? Tapi Vano tidak ingin menanyakannya secara langsung, dia tidak tahu bagaimana sikap Celin nantinya saat dia terlalu ingin tahu tentang kedua orang tuanya.

"Kau baru bangun? Bahkan di wajahmu masih ada kotoran dan liur yang mengering. Kau tidak mencuci wajahmu?" Pipi Celin memerah menahan malu. Sebegitu buruknya kah wajahnya hari ini? Dengan cepat Celin menutupi wajah dengan kedua tangannya dan segera berlari menuju kamar mandi.

My Perfect CEOWhere stories live. Discover now