Bab 7

420K 20.3K 106
                                    

Celin melihat Vino yang masih serius menatap lembaran lembaran yang baru saja dia berikan. Tampak kerutan samar di dahinya yang dari tadi tertangkap dalam pengelihatan Celin.

Tiba tiba ingatan Celin tertuju saat tiga hari lalu, dimana Vino langsung marah padanya setelah dia baru bangun tidur. Dalam marahnya, Vino tidak sengaja menceritakan bagaimana kelakuan Celin dengan Vano saat berada di Club, terlebih lagi Vino sudah pernah bilang bahwa Celin harus menghubunginya dahulu saat akan pergi ke tempat seperti itu agar Vino bisa ikut dan menjaganya, tapi Celin mengulangi kesalahan dengan tidak memberi kabar apapun kepada Vino.

Mungkin Vino masih marah sampai sekarang, terbukti intensitas berbicaranya mulai berkurang saat bersama Celin. Bahkan terkadang Vino lebih ingin menghadiri rapat atau bertemu client dengan Sandra walaupun saat itu Celin yang mengurus laporannya.

Tapi ada masalah lain lagi, Celin juga akan malu jika bertemu dengan Vano. Dia masih bingung siapa yang memulai insiden ciuman yang tidak bisa diingat otaknya sampai hari ini. Apa Kakak Vino itu sebrengsek itu sampai mencium Celin di depan umum tanpa alasan –dengan Celin yang dalam keadaan mabuk? Atau dirinya yang terlalu mabuk dan tidak bisa mengatasi kondisi tubuhnya? Memangnya dia siapa sampai Vano mau menciumnya? Celin menggeleng gelengkan kepalanya. Jika memang dia yang menyerang Vano duluan, mau ditaruh dimana wajahnya saat dia bertemu Vano nanti.

Pikiran Celin teralihkan saat tiba tiba pintu ruangan kerja Vino terbuka dan menunjukkan sosok yang tanpa malu-malu langsung masuk dengan seenak jidatnya tanpa permisi. Dengan otomatis Celin langsung menunduk, tidak mau melihat wajah ataupun bertatap muka dengan sosok itu, Vano.

Vino yang juga merasakan kehadiran Vano, mengernyitkan dahinya lebih dalam dari sebelumnya dengan pandangan yang tidak suka.

"Kenapa Kakak disini?" Sebelum Vano menjawab, Vino segera menambahi dengan cepat. "Kau boleh keluar Celin." Celin tetap menyembunyikan wajahnya sampai dia mencapai pintu, bahkan tanpa sadar dirinya sudah menahan nafas beberapa detik.

Huh aura Vano sangat mengintimidasinya.

***

Setelah kepergian Celin, Vino tanpa malu-malu tetap menunjukkan reaksi tidak sukanya kepada Kakak kandungnya itu.

"Kenapa ke sini?" Vino mengalihkan kepalanya ke arah berkas berkas di depannya dan memutuskan pandangan dari Vano.

"Apakah sopan jika berbicara tanpa memandang lawan bicara?" Vino menghela nafas, dari dulu dia diajarkan oleh Papa dan Kakaknya bahwa apapun yang terjadi dia harus menjunjung kesopanan . Vino terpaksa memandang Kakaknya lagi yang sepertinya tidak berniat untuk duduk.

"Aku hanya datang untuk mengatakan bahwa mama akan mengadakan makan malam di luar nanti. Dia sudah mencoba menghubungimu tetapi tidak tersambung."

Vino tidak menjawab pernyataan Vano tapi malah memberinya pertanyaan.

"Apa tujuan kakak?" Vino tahu dia sedang berhadapan dengan Kakaknya yang juga seorang pembisnis tersohor, jadi tidak mudah mengintimidasi Vano dengan tatapannya.

"Tujuanku? Apa maksudmu?" Vano membalikkan pertanyaan Vino dengan santai, seakan itu bukanlah apa-apa baginya.

"Aku tidak bodoh kak, untuk apa menyusahkan dirimu ke sini hanya untuk memberitahu mengenai makan malam? Kau bisa menyuruh asistenmu, atau setidaknya bisa menelpon kantor yang pasti akan menyambungkan kepadaku. Aku tahu kau jauh jauh datang dari Jerman kesini untuk menyelesaikan proyek yang bernilai milyaran, jadi pasti kau akan sangat sibuk. Tapi tidak kusangka kau masih bisa meluangkan jam kerja hanya untuk mengatakan hal yang sepele seperti ini." Vino menyindir Kakaknya dengan intonasi yang meninggi Seingatnya dia tidak pernah kehilangan kesabaran seperti ini, tapi perlakuan kakaknya beberapa hari lalu dan hari ini yang benar benar janggal sudah membuat emosinya terpancing, apalagi tujuan Kakaknya jika bukan karena itu.

"Lalu menurutmu apa tujuanku?" Vano menaikkan alisnya, tidak terpengaruh dengan emosi Vino yang sudah memuncak.

"Celin bukan?" lirih Vino, dan dia bersumpah telah melihat senyum miring Kakaknya walau sekilas.

"Kenapa aku harus mempunyai tujuan untuk wanita itu? Aku tidak punya urusan dengannya." Vino memandang Kakanya tidak percaya, orang bodoh mana yang percaya saat semua bukti sudah berada di depannya.

"Jangan ganggu dia, aku mohon. Dia bukan seperti kebanyakan wanita gilamu yang rela berlutut di kakimu hanya untuk mendapat perhatianmu." Vino mulai bisa mengontrol dirinya dan merendahkan intonasi bicaranya.

"Aku tidak pernah bilang bahwa dia termasuk salah satu incaranku kan'? Jadi tenang saja. Dan Vin kau harus tahu, sebrengsek brengseknya aku, aku tidak akan mencium wanita dalam keadaan mabuk yang seperti ilusi baginya dan esoknya hanya akan dilupakan. Jadi kau pasti sudah tahu siapa yang salah di insiden itu kan'? Sebenarnya ini masih sakit." Vano menunjuk sudut bibirnya yang memang sedikit berwarna ungu walaupun sudah agak samar, dan Vino langsung tahu bahwa itu adalah bekas dari pukulan yang dia berikan kepada Kakanya beberapa hari lalu.

"Aku pergi." Vano membalikkan badannya dan segera pergi tanpa ingin mendengar jawaban Vino, tapi tepat saat dia akan membuka pintu, dia mendengar Adiknya bergumam sesuatu.

"Jika kakak mempermainkan dan menyakitinya, aku bersumpah akan membuatmu terluka lebih dari itu."

"Coba saja jika bisa."

***

Vano menghentikan langkahnya dan memerhatikan Celin yang keluar dari lift dan menuju ke arahnya. Lebih tepatnya menuju meja kerjanya yang berada di belakang Vano. Laki laki itu sedikit geli sendiri saat Celin masih dengan setia menundukkan wajahnya saat tidak sengaja menatapnya tadi.

Saat Celin melewatinya, Vano mencekal pergelangan Celin dan membisikkan sesuatu.
"Ciumanmu cukup hebat tapi tidak terlalu memuaskan." Vano diam diam terkekeh dalam hatinya saat melihat Celin terdiam dengan wajah memerah.

"Tolong lupakan itu." Celin dengan segera menarik tangannya dan menjauh dari Vano.

"Melupakan itu? Bagaimana bisa aku melupakannya?" Batin Vano dalam hati sambil berjalan pergi.

***

My Perfect CEOWo Geschichten leben. Entdecke jetzt