Bab 26

356K 18.6K 335
                                    

Celin terbangun, melihat keselilingnya saja dia sudah yakin bahwa dia tidak pernah berada di tempat ini sebelumnya. Hanya ruangan yang tidak terlalu besar, terdapat lemari dua pintu, sofa tidak terlalu panjang dan nakas disebelah single bed yang sekarang ditidurinya.

Harum musk memenuhi hidungnya, dia sangat paham siapa orang yang mempunyai bau khas seperti ini. Dan jawabannya langsung berakhir pada laki laki yang beberapa waktu lalu menolaknya. Menolak? Sepertinya tidak seperti itu, tetapi bukankah sifat Vano yang tidak membalas ciumannya dan merasa jijik dengannya itu memang bisa disebut penolakan?

Celin berdiri dan menuju ke satu satunya pintu. Mantel tebalnya sudah tidak berada di tubuhnya dan kakinya juga tidak sekaku sebelumnya. Mungkin di ruangan ini terdapat penghangat ruangan.

Celin melihat Vano yang duduk di balik meja singgasananya tepat setelah keluar dari pintu. Lelaki itu sedang serius memerhatikan kumpulan kertas yang membuat dahinya berkerut.

Jadi ini ruangan Vano? Dan ranjang tadi berarti termasuk salah satu fasilitas pribadi yang disebutkan Diane.

Celin sedikit gusar, apa dia harus merah atau meneruskan usahanya. Jika marah, memangnya nanti Vano akan peduli? Alih alih peduli, mungkin lelaki itu malah akan mengusirnya. Tapi jika Celin meneruskan tujuannya untuk mengejar Vano, dia tidak akan kuat jika mendapat serangkaian penolakan lagi dari lelaki itu.

Suara pintu terdengar, tidak, bukan pintu yang berada di belakangnya, tapi dua pintu besar yang sepertinya adalah pintu utama. Dari sana Celin melihat lelaki berkacamata yang pernah menegurnya saat meneriaki Vano. Lelaki itu masuk sambil diikuti office boy di belakangnya.

"Hai Miss, saya Edmund. Sepertinya anda baik baik saja melihat anda bisa berdiri dan berjalan ke luar dari kamar." Edmund menyungging senyumnya. Vano yang tersadar bahwa Celin sudah bangun hanya sekilas menoleh ke arah wanita itu dan dengan tidak peduli kembali lagi pada berkas berkasnya.

"Taruh di sana." Edmund meminta office boy yang membawa wadah hitam tidak terlalu besar untuk diletakkan tepat di bawah sofa. Di belakangnya lagi menyusul temannya yang membawa banyak makanan yang langsung membuat perut Celin berbunyi dengan keras tanpa tahu malu.

Edmund hanya terkekeh mendengar itu. "Ada yang anda perlukan lagi Sir?"

"Tidak, kau boleh pergi." Edmund mengangguk dan pergi. Lelaki itu entah mengapa dari tadi menyungging senyuman di wajahnya saat melihat ke arah Celin. Membuat wanita itu sedikit bertanya-tanya.

"Duduk dan rendam kakimu. Makanan itu disiapkan Edmund, jangan lupa minum obatnya juga." Vano berkata tanpa melihat ke arahnya. Bukankah ini pertanda yang bagus meskipun Vano masih terlihat tidak peduli dengannya.

Celin berjalan ke arah sofa, merendam kakinya ke dalam wadah hitam yang ternyata berisi air hangat lalu menatap lapar pada makanan yang tidak pernah ditemui sebelumnya.

"Van kamu memaafkanku 'kan?" Celin tidak bisa menahan dirinya membisu berlama lama sedangkan di depannya telah ada Vano yang menjadi tujuan utamanya pergi ke Jerman.

"Van ...."

...

"Vano ...."

...

"Kamu mendengarkanku 'kan?"

"Demi tuhan Cel, habiskan saja makananmu dan jangan banyak bicara," jawabnya bersungut sungut sambil menatap tajam Celin.

"Aku kan hanya ingin bertanya kepadamu." Celin menunduk, hidangan di depannya sudah tidak membuatnya berselera.

Celin mulai memakan apa saja yang diambil tangannya. Obat yang juga sudah tersedia tidak lupa dia minum. Dia tetap menatap Vano yang tidak ingin berbalik menatap ke arahnya.

My Perfect CEOWhere stories live. Discover now