Suaminya. Ingatkan Celin untuk menekankan kata kata itu setiap kali dia mengucapkannya. Seharusnya dia bahagia, memang Celin sangat bahagia karena bisa menikah dengan Vano apalagi dia memakai gaun terindah rancangan desainer terkenal dari prancis.

Tapi sepertinya suasana hatinya tidak sebaik itu. Celin masih ingat jelas, 4 hari yang lalu Vano bilang bahwa pernikahan mereka akan diadakan satu minggu kemudian. Sontak keputusan mendadak itu membuat perdebatan di antara mereka yang sialnya selalu bisa dimenangkan dengan mudah oleh Vano. Celin sudah menyerah dan mau tak mau mengikuti keinginan lelaki itu.

Tapi apa yang dia dapati sekarang? Dia seperti orang bodoh di acara pernikahannya sendiri. Vano tidak menepati janjinya, bahkan pernikahan mereka lebih cepat 3 hari dari kesepakatan.

Tadi pagi Martha tiba tiba menekan bel apartemen pada jam 3 dini hari, membuat Celin membuka pintu dengan penampilan yang berantakan karena baru bangun dari tidurnya. Tiba tiba saja wanita yang sekarang sudah menjadi mertuanya itu membawanya ke salon dan mendandaninya bak seorang putri kerajaan. Dia yang masih dalam keadaan bingung dengan dahi berkerut tidak membuat Martha mau untuk menceritakan kejadian sebenarnya.

Sampai akhirnya Celin harus membelakkan matanya tak percaya saat Martha mengantarkannya ke gedung yang sudah berisi banyak keluarga dan kerabat serta teman teman dari pihak Vano maupun pihaknya. Meskipun dari pihak Celin hanya ada teman teman kantor dan Sally, tapi itu tak membuat dia berhenti dari rasa terkejutnya.

Dan disana dia melihat Vano yang sangat tampan dengan balutan jas mahalnya yang serasi dengan gaunnya. Celin baru menyadari bahwa ini adalah acara pernikahannya. Dia, si pengantin wanita, menjadi orang terakhir yang tahu mengenai acara sepenting ini.

Alhasil selama mereke -Celin dan Vano- di atas pelaminan, Celin selalu mengacuhkan Vano. Membuang muka dari lelaki itu dan tidak mau berbicara satu katapun. Dia masih kesal dengan pernikahan dadakan ini.

Sebenarnya Celin juga ingin menghargai usaha Vano, dekorasi pernikahannya sangat mirip dengan dekorasi yang dipilih Celin saat pertunangannya dulu. Walaupun ruangannya lebih luas dan membutuhkan lebih banyak pernak pernik tapi tidak mengubah apapun yang pernah Celin pilih, dan itu sukses membuat Celin terkesikap terharu.

"Masih marah padaku?" Ini sudah jam malam, dimana pesta sudah menempati posisi puncak keramaian. Para undangan lebih banyak yang datang, bahkan ada sebagian orang yang tidak dikenal Celin yang juga ikut menyalaminya, mungkin itu rekan bisnis Vano.

Celin tidak melihat paman bibinya, dan seharusnya dia juga tidak bisa mengharapkan mereka. Selain mereka baru saja masuk ke penjara, Celin juga tidak tahu harus bersikap apa jika nantinya kembali dipertemukan dengan dua orang itu.

Perusahaan milik paman bibinya yang sedang mengalami kekosongan kekuasaan juga menjadi krisis sendiri bagi para karyawan. Satu satunya orang yang harusnya berhak menerima kekuasaan penuh atas perusahaan adalah Celin, mengingat dulu ibunya yang memegang saham tertinggi. Tapi tidak, Celin tidak mau, dia lebih memilih menyerahkan perusahaan itu ke tangan Sally, entah bagaiaman wanita itu akan mengurusnya nanti.

"Kamu tidak menjawab pertanyaanku 30 kali, mengabaikan aku, mengacuhkan aku dan mendiamkan aku. Tidak merasa lelah?" Celin mendengus kasar dan membuang mukanya. Vano terkekeh tapi tidak berlangsung lama, karena sepertinya lelaki itu juga lelah hanya dianggap patung berdiri seharian oleh Celin.

Vano menuntun Celin duduk saat melihat tidak ada lagi yang ingin memberi ucapan selamat kepada mereka. Tangan kirinya masih tetap setia di pinggang wanita itu dari tadi.

"Sayang, maafkan aku." Celin berusaha mengabaikan perkataan Vano yang sedang merajuk. Dia beradu dengan otaknya, apa sebelum ini Vano juga pernah memanggilnya sayang? Sepertinya pernah saat dia sedang sakit, atau itu hanya salah satu efek dari rasa pusingnya saat itu.

My Perfect CEOWhere stories live. Discover now