"Kamu kenapa? Sakit?" Vano melihat ke arah Celin sedikit khawatir, pasalnya wajah Celin memang sedikit lesu.

"Tidak," jawab Celin sambil menepis tangan Vano yang akan menyentuh dahinya.

"Kamu kenapa?" Vano masih berbicara dengan lembut.

"Gapapa." Vano menghela nafasnya.

"Pak mampir ke restoran ya, terserah mau restoran apa." Pak Toto mengangguk dan seketika Celin melihat ke arah Vano.

"Kenapa ke restoran?"

"Makan."

"Aku mau pulang."

"Kamu belum makan. Kita makan sekarang, titik. Tidak ada penolakan. Aku enggak mau kamu sakit." Celin mendengus dan membuang mukanya sambil bergumam, "terserah."

Celin bingung, sangat bingung. Dia bingung menghadapi dirinya sendiri seperti ini. Apa mungkin dia cemburu? Sebenarnya dia tidak ingin mengakuinya tapi hatinya seakan selalu berkata Kau memang cemburu bodoh , terima saja kenyataan itu.

Celin suka dengan perhatian Vano kepadanya, tapi tak menutup kemungkinan bahwa mungkin Vano juga punya perhatian yang sama besarnya untuk orang lain, Diane mungkin? Dia tahu bahwa di antara mereka tidak ada ikatan kekasih, tapi siapapun yang melihat kedekatan mereka pasti dapat menyimpulkan sendiri bahwa memang ada apa apanya dengan mereka.

Celin menghela nafas , dia tidak suka perasaannya kali ini , terlalu sakit.

***

"Kau yakin bisa melepasnya?" Vino mengangkat alisnya saat dia mendengar perkataan Diane. Dia sekarang mengantarkan sup hangat untuk wanita itu sepeninggalan Celin dan Vano.

"Siapa?" Vino duduk di sebelah Diane. Menimbulkan gerakan ranjang yang samar.

"Celin. Aku tahu kau mencintainya tapi kau mau melepasnya begitu saja?" Diane menatapnya sedikit tajam, membuat Vino sedikit mengernyit.

"Aku tidak tahu apa maumu menanyakan itu. Tapi jika kau ingin tahu jawabannya. Ya aku merelakannya , karena aku tahu dia bisa bahagia dengan kakakku." Diane tersenyum, tapi kali ini tersenyum mengejek mendengar penuturan Vino.

"Omong kosong. Kau hanya terlalu pengecut untuk mengatakannya." Diane manatap sup yang berada di meja sampingnya tidak tertarik. Mungkin tidur setelah menguras matanya sudah menghilangkan selera makan dengan sekejap.

"Jangan bertele tele Diane. Apa yang sebenarnya ingin kau katakan." Vino menyadari bukan itu yang sebenarnya ingin diungkapkan Diane. Wanita itu hanya mencari topik basa basi untuk permulaan.

"Vano. Aku membutuhkannya." Vino diam, menunggu Diane malanjutkan kata katanya yang sepertinya sudah diperkirakan oleh lelaki itu. "Aku menginginkannya, aku mau dia selalu di sampingku, perhatian padaku dan menopangku jika ada masalah. Aku hanya punya dia. Dia yang selalu ada di sisiku selama ini. Dulu aku merelakan dia bersama Nana, aku rela dia membagi perhatiannya kepada wanita lain, aku rela dia tidak ada disampingku hanya karena ingin menemui wanita lain. Kau tahu alasannya apa, alasannya seperti alasan bodohmu itu, aku percaya bahwa dia akan bahagia. Tapi apa, wanita itu malah membuatnya berubah, mengubah hidupnya, membuatnya hancur. Aku tidak ingin sesuatu terjadi lagi padanya. Dulu aku menahan perasaanku, tapi sekarang aku tidak bisa. Aku tidak mau dia tersakiti dan berubah seperti orang yag tidak mengenaliku. Aku benci saat dia mengabaikanku, karena hanya dia orang yang mengerti diriku, Aku ...," ucapannya terputus saat Vino memeluk Diane erat. Wanita itu perlahan mulai menangis. Emosi ibu hamil memang tidak terkendali.

"Aku tidak mau dia pergi dariku. Aku sendirian."

"Diane ...."

"Aku tidak mau dia hancur dan mengabaikanku seakan aku hanya debu tak berarti."

My Perfect CEOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang