Celin cukup lega saat kemudian Vano membuka mulutnya dan suaranya sudah tidak setajam tadi.

"Oke, sekarang kau harus menuruti perintahku. Tidak ada bantahan. Ingat, aku yang menolongmu. Jadi turuti saja."

"Apa?" Celin mengerutkan dahinya, tapi kemudian dia menatap Vano curiga saat lelaki itu kembali kesikap semulanya, tersenyum miring misterius.

"Kita akan membersihkan bibirmu dari bekas pria brengsek itu." Dan Celin tahu bahwa ini bukan tanda yang baik.

***

"Van kau gila? Ini sudah yang kelima kalinya. Cukup, aku lelah melakukannya, bibirku juga sangat sakit."

"Tidak, ayo lanjutkan."

Celin melotot mendengar penuturan Vano. Bagaimana tidak? Dari tadi Celin dipaksa Vano untuk mensucikan kembali bibirnya dengan cara menggosokan bibirnya berulang kali dengan kain yang sudah direndan air hangat. Tidak sampai itu saja, bahkan Celin harus menggosok giginya dan berkumur sampai 6 kali untuk mensterilkannya.

"Dia menciummu kan? Pasti juga sampai ke dalam mulutmu. Karena itu bakteri dan kumannya pasti akan tertinggal." Begitu katanya tadi saat Celin berulang kali menolak permintaannya yang cukup gila.

Bahkan sekarang bibirnya juga mulai sakit dan dirinya juga sudah lelah bolak balik ke kamar mandi untuk menggosok gigi.

Celin melemparkan kain putih yang sudah tak terhitung jumlahnya berulang kali membasahi bibirnya.

"Bibirku sudah bersih. Bahkan nafasku juga sudah tidak bau. Cukup. Sekarang aku akan pergi." Jika saja Vano bukan orang yang menyelamatkannya, dia sudah pergi dari tadi dan tidak akan mau melakukan hal konyol seperti ini. Bahkan Vano sempat mengusulkan agar membersihkan bibirnya dengan sabun yang langsung ditolak mentah mentah oleh Celin. Dia pikir bibirnya baju yang bisa dicuci dengan sabun lalu kembali bersih?

"Baiklah baiklah." Vano mengalah, merasa cukup untuk sedikit memberi hukuman kepada Celin. "Tapi jangan pergi, ini sudah larut malam."

Celin mendengus, melihat jam dinding yang sudah menunjukkan tepat pukul 23.00.

"Tidak apa , aku bisa menelpon taksi."

Vano tidak menghentikan Celin yang mengambil clutch bag-nya, mungkin karena lelaki itu sedang berbicara dengan seseorang disebrang ponselnya. Dan jelas itu akan menjadi kesempatan emas bagi Celin.

Dengan perlahan Celin menuju pintu tanpa menimbulkan kebisingan.

"Kau tidak akan bisa pergi." Celin cukup terkejut mendengar suara Vano yang orangnya saja masih setia duduk di sofa tanpa ingin berpindah.

Lagipula jika Vano mengejarnya pasti juga tidak akan bisa dengan keadaan kaki yang seperti itu. Celin tidak menghiraukan dan tetap membuka pintu apartemen Vano.

Dengan sekali lihat, Celin sudah tahu apa yang terjadi dengan pemandangan di depannya ini. Celin menolehkan kepalanya ke arah Vano yang disambut dengan senyuman miringnya, seperti biasanya.

"Maaf nona, kami diperintahkan untuk melarang anda keluar dari apartemen ini. Mohon turuti jika tidak maka kami bisa bertindak dengan menggunakan kekerasan." Dua penjaga yang sudah berdiri di depannya entah sejak kapan, sudah menghadangnya bak preman yang ingin menagih uang di pasar. Dengan sedikit erangan, wanita itu menutup pintu lagi dengan kasar. Dia baru ingat, betapa liciknya pria satu ini.

"Tidak perlu malu malu. Disini ada lebih dari 1 kamar. Tapi jika kau memilih tidur bersamaku, aku tidak keberatan."

Celin membuang mukanya dan segera menuju kamar yang sempat tadi dilihatnya sekilas.

My Perfect CEOWhere stories live. Discover now