Terbentur Terbentur Terbentur Terbentuk

Mulai dari awal
                                    

Tapi yang membuat heran adalah lokasi di belakangnya. Ini adalah kafe tempat dirinya cari uang sebelum menikah. Link sudah ada tapi tetap saja gagal. Mereka beralasan kalau pelayan sudah terlalu banyak. Dan begitu Laudya bernego agar ditempatkan sebagai tukang cuci pekakas, mereka tetap tak mau. Katanya mereka tak bisa menerima pegawai yang sedang hamil. Agak repot.

"Sabar ya, Sayang. Kita tetap bisa makan, kok." Laudya menggigit bibir menahan tangis. Ia membelai perut yang belum kelihatan besar, mencoba meyakinkan janinnya kalau sang ibu tak akan membiarkan anaknya kelaparan.

Laudya sudah bertekad dirinya tak akan cengeng. Penyesalan dan air mata tak kan mengenyangkan perut. Dumelan dan sumpah serapah tak kan menumbuhkan uang. Ia sudah terbentur, terbentur, dan terbentur. Kini saatnya terbentuk.

Tapi apa mau dikata. Kumpulan kata-kata motivasi saja tak akan cukup. Sampai lelah Laudya berusaha, keputusasaan terus saja berkembang. Awan gelap sudah benar-benar di depan mata. Tidak ada secercah harapan, tidak juga setitik cahaya. Laudya tertutup nasib buruk. Tidak bisa berbuat apa-apa.

Dengan langkah lemas sambil terus mengusap perut, Laudya meneruskan perjalanan. Barangkali di rumah masih ada sekepal beras atau mungkin remah mi instan. Kalaupun tak ada, pahit-pahit sekarang ia akan jalan kaki. Uangnya tinggal selembar. Pilihannya hanya dua. Jalan kaki tapi bisa makan, atau naik metromini tapi kelaparan.

*
*
*

Sambil menitikkan air mata, Laudya turun dari metromini. Tadi perutnya melilit, makanya ia tak sanggup berjalan. Maka iapun mengambil keputusan kedua. Naik kendaraan tapi perutnya lapar.

Ketika dirinya menjauhi metromini sebanyak tiga meter, seseorang mencolek pinggangnya.

"Sendirian saja, nih?" kata si pencolek—— seorang laki-laki, urakan, dan sepertinya sedang teler. Kelihatan dari tangannya yang memegang lem isap. "Ikut Abang, yuk."

Laudya cepat-cepat menjauh. Tapi dengan kurang ajarnya, pria itu malah mengikuti, bahkan menepuk bokong Laudya.

"Sok jual mahal banget, sih!"

Merasa terhina dengan perlakuannya Laudya menampar. Sontak si Urakan itu membalas. Tapi untungnya ia sedang teler, tak sempat menyerang ketika sebuah kaki menendang dari belakang.

"Bangsat!" hardik si Urakan sambil beringsut. "Siapa lo?"

"Lo yang siapa? Enak saja godain istri orang!"

"Dia janda! Kagak punya laki, Tolol!"

"Gue suaminya!"

Laudya sampai kaget ketika Ayyash bilang begitu. Bukan hanya karena isi kalimatnya, tapi suaranya juga. Keras, kuat, dan seperti bukan Ayyash.

Tanpa menunggu reaksi si Urakan, Ayyash langsung menarik tangan Laudya. Wah, semakin ajaib saja! Sejak kapan adam ini berani bersentuhan dengan hawa?

"Maaf." Ayyash cepat-cepat melepas pegangannya. "Tadi kepepet, jadi terpaksa bilang gitu."

"Ya. Aku ngerti." Laudya mengangguk. "Makasih, ya."

"Aku datang untuk pamit."

Kata terakhir di lidah Ayyash mengusik kalbu Laudya. Pamit katanya. Apakah ia akan meninggalkannya juga? Oh! Jadi, sekarang Laudya benar-benar sendirian?

"Mbak Shofi sudah telepon dari kemarin. Aku harus pulang."

"Kakak kamu nggak akan kaget? Muka kamu masih lebam-lebam."

Ayyash menyentuh sudut mata dan bibir. Memang masih perih, tapi setidaknya tak separah waktu itu. Perban di kepalanya sudah dilepas. Dadanya sudah lebih enak. Dan sendi-sendinya tak sengilu dulu.

"Sebelum pisah, mari aku antar kamu ke rumah."

Sebenarnya Ayyash tak tega. Ia tahu kalau keadaan Laudya tidak baik-baik saja. Belum sebulan jadi janda saja sudah ada yang menggoda. Sungguh nasib! Titel lima huruf itu sepertinya masih riskan di Indonesia. Wanita-wanita tak bersuami seakan-akan punya cap konotasi. Entah tukang rayulah, entah jarang dibelailah. Huh, ada-ada saja.

"Sudah nyampe, nih. Kamu bisa pergi."

Entah hanya perasan atau memang insting, tapi Ayyash menangkap sesuatu dari tatapan Laudya. Sorotnya begitu terasa membelai dada Ayyash. Sungguh sulit diartikan oleh kata-kata, tapi jiwa Ayyash mengerti sepenuh hati.

Tolong ... Mungkin itu bunyinya. Meski tanpa kata, Ayyash yakin Laudya sedang memohon demikian.

"Laudya, ikutlah denganku."

Kata-kata itu meluncur tanpa sensor. Ayyash sendiri kaget, tak tahu kenapa bisa mengatakannya. Lidah seakan-akan bekerja lebih cepat daripada otaknya.

"Tinggalkan Jakarta dan lupakan semua," ujar Ayyash kepalang basah. "Luka, masalah, dan apa pun yang membuat kamu lelah. Lupakan semua, Dya."

Dya ...

Untuk pertama kalinya Ayyash memanggil seperti itu. Biasanya Laudya.

"Suasana baru, tempat baru," Ayyash menyambung sambil mengulurkan tangan. "Ayo, Dya, ikutlah denganku!"    

-bersambung

FilantropiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang