Cukup

20.5K 2.6K 60
                                    

Laudya merasa dadanya sesak. Selain karena napas yang terengah-engah, darah pun berdesir gesit hingga jantungnya nyaris meletus. Tapi meski begitu, ia tak mau berhenti melangkah. Walaupun Ayyash sudah memanggil-manggil, walaupun ada nyawa lain di rahimnya, ia tetap menggerakkan kaki.

Informasi suster tadi benar-benar menyihir. Ia kehilangan kontrol, tak mampu menyinergikan logika dan perasaan. Semua pikirannya didominasi keresahan, ketakutan, dan keputusasaan. Bagaimana kalau Livia masih di lab? Bagaimana kalau ia tak bisa menerobos jilatan api? Bagaimana kalau ia mati layaknya Dion?

Kian cepat ia menambah laju kaki. Diseruduknya gerombolan manusia di ruang evakuasi. Dicarinya Livia dengan mata terbuka lebar. Tetapi nahas, sampai lelah ia memanggil namanya, sampai perih mata karena terlalu lama memelotot, yang diharapkan tak menunjukkan batang hidung.

Tak hilang harapan, Laudya keluar dari spot evakuasi. Tepat pada saat itu Ayyash muncul. Lelaki bertubuh selembar itu sedang terseok-seok sambil dituntun suster. Dan belum sempat membuka mulut, Laudya keburu mengibrit.

"Laudya!" Ayyash memanggil tapi sia-sia saja usahanya itu.

Dengan air mata yang semakin berlinang, Laudya meneruskan pencarian. Kali ini ia nekat menghampiri laboratorium. Tetapi sesuai dugaan, beberapa puluh meter ke arah sana, jalur sudah ditutup. Oleh petugas, juga oleh gerombolan manusia yang hendak menuju tempat evakuasi. Di situ, mau tak mau Laudya kena getah juga. Ia terimpit dan kesesakan.

Tepat ketika ia mengerahkan segenap kekuatan, matanya menangkap sosok itu. Amzar, kakaknya Andreas. Pria itu tampak menyelinap di antara kerumunan orang. Wajahnya sedatar biasa. Gerak-geriknya pun amat tenang.

"Dya!"

Laudya langsung menoleh. Dan tanpa ba-bi-bu, ia menerjang orang yang memanggilnya. Memeluknya dengan erat. Dan Menangis di pundaknya.

Oh, syukurlah! Syukurlah Livia selamat, ia berbatin terharu.

Laudya tak tahu bagaimana jadinya jika takdir mengharuskannya berpisah dengan Livia. Gadis di pelukannya ini bukan saja sahabat, ia adalah ...

Seorang gadis imut; yang berani memarahi kakak kelas untuk membela Laudya, yang tak gentar ketika semua teman mengolok-olok Laudya, yang tak keberatan mengajari Laudya pelajaran Biologi dan Kimia.

Ia juga seorang remaja cantik; yang tak keberatan membantu menjadi pelayan kafe kalau Laudya kerja sambilan, yang sering traktir Laudya hangout ke mal, yang membantu Laudya memilih baju ketika Andreas mengajak kencan, dan yang sering menggodanya manakala Andreas datang.

Selain itu, ia adalah seorang wanita terpelajar; yang memberinya masukan soal lamaran Andreas, yang menggratiskan biaya kalau Laudya berobat, yang jadi sasaran curhat soal rumah tangga, yang membantunya melupakan kesedihan saat ditinggal Dion, dan yang sampai detik ini selalu ada untuk Laudya.

Ialah Livia.

"Lo mau ke mana, Dya?" tanya Livia setelah Laudya melepas pelukan.

Pipi Laudya kembali banjir air mata. Antara sedih dan lega melihat keadaan Livia. Jas putihnya tampak kotor. Tangan kanannya pun sedikit terluka. Dan wajahnya ... aduhai, untung saja hanya bernodakan asap. Bukan goresan luka, bukan juga colekan api.

*
*
*

Keesokan harinya, keadaan sudah lebih aman. Namun, dapat dipastikan bahwa laboratorium yang terbakar setengahnya itu menimbulkan kerugian besar. Semua alat pengujian, berkas-berkas, dan proyek beberapa dokter hangus. Selain itu, kejadian tersebut memakan satu nyawa. Yakni, sang penjaga lab. Pria itu tak sempat meloloskan diri ketika si jago merah beraksi.

FilantropiWhere stories live. Discover now