Minus Satu

51.4K 4.5K 275
                                    

"Nggak salah lagi!" Dion menyahut sambil mengepalkan tangan. "Si Andreas memang sumber penyakit lo, Dya!" 

Masih dalam keadaan memelotot, Dion mengetatkan rahang. Barisan giginya saling beradu, hidungnya kembang kempis penuh emosi, dan napasnya kian memburu.

"Di, please jaga sikap lo. Di luar masih banyak pasien," Dokter Livia mengingatkan. Kemudian pada wanita di samping Dion, ia berkata, "Yang gue bilang masih dugaan sementara, Dya. Gue mesti mastiin perkembangan selanjutnya. Setelah semua terbukti, baru gue bikin rujukan buat ke psikiater."

"Kenapa nggak sekarang saja, sih, Liv?" Lagi-lagi Dion bersuara. Nadanya tetap tidak sabar, emosi masih terkandung dalam kata-katanya. "Sudah terbukti Laudya sakit karena Andreas. Dia mual, muntah, dan pusing kalau ada Andreas di sebelahnya."

"Di," Laudya bersuara. Baik mimik maupun suara sama-sama penuh permohonan. Sambil memijat pelipis, ia menambahkan, "Bisa tinggalin gue sama Livia sebentar?"

Sebenarnya Dion tidak mau keluar ruangan ini. Ia ingin mengetahui sejauh mana Andreas menyakiti sahabatnya. Tetapi memang, kalau Laudya sudah memandanganya seperti ini, ia tak bisa mengelak. Lantas tanpa bicara lagi iapun meninggalkan kedua perempuan itu.

"Dya .... "

"Gue sudah nggak tahan lagi, Liv!" potong Laudya tiba-tiba. "Makin ke sini, rumah tangga gue sama Andreas makin nggak terkendali. Semuanya lebih parah dari yang gue kira!" Kini ia menunduk sambil menutup wajah dengan telapak tangan. Pelan-pelan ia mulai tergugu, membuat Livia refleks memegang bahunya. "Gue rasa keputusan gue terima lamaran dia waktu itu adalah dosa besar. Gue nyesel, Liv. Nyesel banget!"

Sebelum Laudya puas mengeluarkan unek-unek, Livia memang tak pernah bersuara. Jadi ia membiarkan Laudya bicara tanpa dipotong. Adapun bentuk dukungan yang bisa ia lakukan sekarang ialah mengusap-usap bahu Laudya.

"Nanti biar gue bicara sama Andreas," kata Livia setelah Laudya berhenti terisak. Perannya sekarang bukan lagi sekadar dokter, melainkan sahabat yang merangkap sebagai kakak. "Mungkin perubahan sikapnya itu merupakan manifestasi kesedihan. Tadi lo bilang sendiri, kan, Andreas makin menjadi setelah lo keguguran?"

Mendengar kata-kata itu, Laudya kembali menangis. Bulir-bulir di matanya berjatuhan. Membentuk anak sungai di pipi, menggantung di dagu, hingga akhirnya terjun bebas.

Di awal pernikahan, bahtera Laudya dan Andreas berlayar dengan mulus. Andreas bukan saja memanjakan Laudya, ia pun kerap membela mati-matian manakala keluarga Andreas menunjukkan ketidaksukaan pada perempuan yang diperistrinya itu. Selain itu, kalau Laudya mau sesuatu, ia hanya perlu bilang pada Andreas, maka tak kurang dari satu hari yang diinginkan sudah muncul di depan mata.

Tapi kini, setelah usia pernikahan mereka berada di angka keempat, segalanya berubah ke arah mengerikan. Laudya tak pernah tenang jika ada Andreas di sampingnya. Padahal secara fisik, Andreas tidak berubah. Ia tetap tampan, macho, dan digandrungi kaum hawa di luar sana. Dompetnya pun tetap setebal dulu. Belum lagi namanya makin melambung dari hari ke hari. Orang-orang bahkan setuju untuk menetapkan si Tuan Sempurna sebagai julukan untuk Andreas.

Bagaimana tidak sempurna? Andreas Junial Adinegoro adalah figur dengan paket super komplet. Ia bukan lelaki yang bisa dilirik sebelah mata. Wajah ganteng, gaya cool, badan bikin ngiler, nama melambung, wawasan luas, dan punya gelar magister sebelum usia menginjak dua puluh dua tahun.

Oh, jangan lupa juga, dia berasal dari keluarga terpandang. Keluarga Adinegoro.

Prasetyo Adinegoro, ayahnya, seorang direktur utama di bank besar Indonesia. Beliau sempat menjadi wakil rakyat beberapa waktu lalu. Selain namanya bersih dari kasus, ia pun menjalankan amanah dengan sangat baik. Tak ayal semua orang menaruh segan padanya.

FilantropiWhere stories live. Discover now