Teka-Teki Kemunculan

25.3K 3K 112
                                    

Tidak salah lagi. Yang tegak di daun pintu itu memang Andreas. Si Tuan Sempurna. Suami sah Laudya.

Secara gamblang, mukanya yang berstatus rupawan itu tak berubah sama sekali. Kulitnya masih putih mulus, rahangnya tetap kokoh, hidungnya masih mancung dengan kemiringan 106 derajat, alisnya tetap tebal, matanya masih bening, dan bibirnya tetap tipis berwarna merah muda.

Entah kalau isi batinnya. Laudya sudah dikejar delapan tahun dan dinikahinya empat tahun. Kalau dijumlah, sudah dua belas tahun lebih Laudya mengenali Andreas. Dilihat dari sorot matanya yang bening, Laudya seakan-akan tahu kalau pancaran kornea pria ini agak beda. Entah bagian mana yang janggal, tapi Laudya benar-benar merasakan.

"Laudya, mari kita pulang." Andreas bersuara. Aneh, nadanya begitu tenang. Tidak memaksa tapi tetap menguasai.

"Aku nggak mau."

"Mau sampai kapan kamu di sini?"

Laudya menggigit bibir bawah. Tentu karena tak tahu jawabannya.

"Laudya, mari kita pulang," Andreas berujar lagi. Kali ini skala bujukannya berubah. Dari tenang menjadi setengah memaksa.

Laudya hendak menutup pintu, tapi Andreas menjegalnya. Pria ini mengerahkan tenaga, maka pintu pun berhasil dibuka.

"Rumah kamu bukan di sini, Dya."

"Rumah yang kamu banggakan pun bukan rumah aku," tukas Laudya.

"Laudya, aku minta maaf." Hanya dalam hati Andreas mengecapkan kalimat tersebut. Tak sudi ia mengucapkannya. Logika dan ego masih mendominasi. Meskipun kemarin-kemarin sempat merenung, tapi karena istrinya belagu begini, Andreas jadi geram.

"Gini saja, aku akan kasih kamu apa pun asalkan kamu pulang." Andreas menawarkan. "Meski harus menjual semua harta aku, eh, harta kita maksudnya, semua akan aku kasih."

"Terima kasih, Andreas. Tapi penawaran kamu nggak ngubah apa pun."

Andreas mengepalkan tangan. Gigi-giginya saling beradu manakala darah mulai naik. Belagu! Keturunan pedofil dan pelacur saja bangga! Kamu akan menyesal karena menyia-nyiakan suami sesempurna aku!

"Kamu hanya perlu sabar, Ndre."

Terngianglah kata-kata Livia waktu itu. Dokter lajang itu memang jadi kawan setia untuk beberapa hari terakhir. Gadis itu bahkan tak keberatan menemani keliling kota demi mencari Laudya.

"Kamu tahu, sekarang aku paham kenapa kamu punya sifat sombong." Livia mengatakannya ketika malam itu tenaga Andreas menempuh titik minimum. "Tuhan ingin nunjukin kalau yang sempurna cuma diri-Nya."

"Apa maksud kamu?"

"Kesombonganlah yang bikin kamu kelihatan minus." Livia mengucapkan dengan mantap. "Kamu tahu, nggak? Analogi orang sombong itu kayak orang yang ada di puncak gunung. Dia merasa tinggi dan bangga, tapi orang-orang justru nggak bisa ngelihat dia. Karena apa? Karena dia kecil."

Kalau malam itu Andreas masih punya tenaga, sudah pasti akan membalikkan kata-kata Livia. Tapi apa mau dikata, tenaganya benar-benar habis.

"Kamu harus nurunin kadar narsis kamu," sambung Livia. "Percayalah, kalau kamu bisa lebih rendah hati dan sabar, Dya pasti kembali."

Karena nasihat itu sedikit banyak Andreas mulai bisa berpikir sebelum berucap. Ia juga sadar, kehilangan Laudya ternyata amat menyakitkan. Tidak ada yang menemani makan, tidak ada yang bisa dikecup setelah pulang kantor, tidak ada yang bisa dipeluk ketika tidur, tidak ada penyempurna hidupnya.

FilantropiWhere stories live. Discover now