Secercah Cahaya

20.9K 2.4K 100
                                    

"Jadi dialah Andreas? Si Tuan Sempurna? Hmmm, boleh juga," Desta berkomentar sambil menyiapkan kapas dan obat antiseptik. "Selain ganteng, dia juga kuat. Kalau orang normal pasti pingsan dikeroyok kayak barusan. Lah, dia langsung lari terbirit-birit!"

Dia lari untuk menemui wanita itu, kecap Ayyash dalam hati.

"Tahan, Yash." Desta membelaikan bulatan kapas ke tangan pria terkasihnya dengan lembut, hati-hati, dan penuh sayang. Setiap kali Ayyash meringis, hatinya juga ikut teriris. "Biarkan kering dulu."

Ayyash menurut. Direbahkan tangan kanannya di atas paha. Aduh, nyut-nyutan, keluhnya dalam hati. Ruas jarinya terluka setelah pengeroyokan. Padahal yang digebuk itu Andreas, tapi tak ayal Ayyash terluka juga.

Ia ingat betapa kerasnya rahang si Tuan Sempurna, betapa kekarnya otot perut yang ditonjok, betapa kuatnya Andreas meskipun pukulan demi pukulan telah dilayangkan. Huh, Andreas memang luar biasa!

"Mari kuantar ke flatmu," ajak Desta sambil meraih tangan kiri Ayyash tapi lelaki itu malah menepis.

"Nggak usah." Ayyash berdiri. Menatap Desta lurus-lurus dan berkata, "Keinginan kamu sudah aku penuhi. Sekarang biarin aku bebas."

"Jadi, semuanya benar-benar selesai?" Desta tersenyum pahit. Dipandangnya mata lelaki itu dengan sakit hati. "Baiklah. Aku nggak bisa tahan kamu lagi. Kejarlah perempuan itu dan dapatkan hatinya."

Ayyash sengaja membuang muka dari Desta. Jangan sampai air mata lelaki itu terlihat. Jangan sampai keputusannya tumbang. Memang Desta yang paling mencintainya, yang nekat mengikuti ke Belanda, dan yang sampai detik ini memberinya kasih tulus. Tapi maaf, ada cinta lain yang harus Ayyash kejar.

"Yash," Desta memanggil dengan suara bergetar. "Kalau dia nolak kamu, kamu tahu ke siapa kamu harus datang."

"Hmmm."

"Boleh aku minta peluk? Sebagai yang terakhir."

Ketika tubuh Desta mendekat, Ayyash mundur satu langkah.

"Syarat supaya kamu melepasku sudah kulakukan. Kita kencan seharian, kita ke pesta gay, dan kita ciuman. Sekarang biarkan aku pergi. Selamat tinggal."

*
*
*

Perih. Itu yang Andreas rasakan ketika membuka tirai mata. Kepala berdenyut-denyut sedang perutnya perih butuh asupan.

Ia yang berada dalam posisi telentang, bangkit lalu meringis. Ternyata bukan perih karena lapar, melainkan ada luka memanjang yang masih basah di perutnya. Tak butuh waktu lama, ia pun ingat kejadian sebelumnya. Saat ia di Belanda, kedinginan, menemukan si Cungkring yang ciuman, dikeroyok para gay, dan mencium kaki Laudya.

Laudya!

Andreas langsung terperanjat ketika mengingat nama itu. Hal lain yang dikenangnya adalah tentang bagaimana ia pingsan setelah memohon sambil menangis-nangis.

Dan ruangan ini ... mungkinkah Laudya yang membawanya kemari? Jika melihat luka-luka yang sudah diobati, Andreas yakin Laudyalah pelakunya. Ah, ternyata Laudya belum berubah. Masih perhatian dan suka menolong.

Tanpa ragu Andreas pun berdiri. Kepala yang diperban itu terasa bergoyang, pusing sekali. Ingin tidur saja dan menunggu Laudya, tapi niatnya urung ketika kupingnya mendengar tangisan bayi.

Ba... bayi.

Bayinya dan Laudya!

Dengan dada berdebar Andreas keluar kamar. Begitu tertatih dan penuh keharuan. Oh, seperti apa bayinya itu? Laki-laki atau perempuankah? Dari jeritannya yang berisik, Andreas berspekulasi anak itu perempuan. Oh, Andreas tak sabar ingin bertemu!

FilantropiWhere stories live. Discover now