Mati Satu Tumbuh Satu

24.8K 2.8K 140
                                    

"Di, kamu laper nggak, sih?"

Meski sebenarnya perut Dion keruyukan, anak itu malah menggeleng.

"Dya laper, nih. Di punya makanan nggak di rumah?"

"Ada. Tunggu sebentar, ya."

Dion keluar dari rumah Laudya. Sejak Dara pergi, Dion memang lebih suka menghabiskan waktu bersama Laudya. Bocah enam tahun itu selalu bisa menghiburnya. Meskipun kadang kata-katanya tak masuk akal, yang diucapkan bisa mengetuk relung Dion.

...

"Dara pernah cerita sama Dya, katanya Dara sayang banget sama Di. Di itu kuat, pemberani, dan selalu ngehibur kalau lagi kangen Ayah-Bunda."

...

"Kadang Dya iri sama Dara. Meskipun nggak ada orangtua, Dara punya Di."

...

Entah kenapa, Dion selalu melihat Laudya seperti Dara. Padahal secara fisik mereka berbeda. Apakah karena Dion sebenarnya sayang pada Laudya? Karena anak ini satu-satunya yang mau berteman dengan Dara?

Atau mungkin, karena Dara juga sering menceritakan rasa sayangnya kepada Laudya, sehingga kasih itu tertular? Melalui isyarat tangan, Dara menjelaskan, "Bang Dion harus anggap Dya sebagai adik, ya. Karena Dara juga anggap Dya kayak saudara."

Karena hal tersebut alam bawah sadar Dion akhirnya termaktub. Ia menganggap Laudya sebagai pengganti Dara, adik kesayangannya. Maka jangan heran kalau ia akan memenuhi apa pun kemauan Laudya. Seperti sekarang, ketika kelaparan.

Dion sebenarnya tahu di rumah tak ada makanan. Tapi ia ingat, penderitaan Laudya sudah terlalu banyak. Tinggal sendiri karena ayahnya memang tak pernah pulang. Sedangkan ibunya, kemarin malam sempat datang, tapi pergi lagi dengan cowok muda yang tak dikenal Laudya maupun Dion.

Dion keluar dari rumah, meminta secangkir beras pada tetangga. Satu dua kali masih diberi. Mungkin mereka iba lantaran dua bocah itu begitu luntang-lantung. Tapi menginjak sekian kali, barulah mereka mulai pelit. Maaf ralat. Bukan pelit, melainkan sadar kalau kebutuhan mereka lebih banyak. Bibi yang rumahnya di sebelah malah sudah memarahi Dion kalau anak itu muncul sambil membawa cangkir kosong.

"Kagak ada! Sono! Minta saja sama ibu-bapak lu yang minggat!"

Minta ke tetangga ditolak, berutang pun malah dimarahi. Mau tak mau Dion mencari jalan pintas. Pada warung yang barusan mengusir, ia menjalankan aksi. Ia menyembunyikan dua roti di balik kaus belel yang dipakai lalu pergi.

"Pak Aji, itu anak sudah bayar belum?" Rupanya yang menyaksikan aksi Dion bukan hanya Tuhan, melainkan pembeli lain.

Dion tahu Pak Aji berteriak-teriak memanggilnya. Ia juga tahu kalau sekarang harus lari sebab orang-orang mulai berkumpul. Waduh, gawat!

"Heh, bocah! Sini kamu!"

Dion tak berani menoleh. Ia terus berlari, menyusuri pekatnya malam, menikmati jantung berdebar dahsyat sebab orang sekampung terus menguber. Dion begitu gesit. Melompati selokan dengan lincah, menoleh sesekali, dan memegang erat roti colongannya.

Dalam pelarian itu, ia hanya bermodal kaki kurus dan perut yang semakin melilit. Bayang-bayang wajah adiknya——eh, Laudya maksudnya——yang kelaparan juga menjadi tenaga tambahan.

Aku nggak boleh berhenti! Dya harus makan!

Sayang seribu sayang, ia malah terjerembap ke pematang sawah. Kakinya terluka sehingga terlambat melarikan diri. Orang-orang langsung mengepung. Mereka memarahi, bahkan Pak Aji sempat menamparnya. Roti yang ia sembunyikan diambil Pak Aji sementara orang-orang terus mengatainya.

FilantropiWhere stories live. Discover now