Buah Simalakama

27.3K 3.1K 73
                                    

"Ya ampun, Dya! Ini beneran lo?"

Laudya menjauhkan kuping dari gagang telepon untuk sesaat. Pekikan Livia benar-benar dahsyat. Hampir saja kokleanya pecah. Bahkan cecak di dinding nyaris jatuh mendengar suaranya.

Tentu saja Livia terkejut. Perasaannya bahkan campur aduk. Bahagia sekaligus kaget. Lebih-lebih sudah seminggu ia didera kecemasan berlebih. Di mana sahabatku? Bagaimana kabarnya? Apa dia masih hidup? Barangkali itulah pertanyaan yang menghantui Livia sebelum Laudya menelepon.

Persahabatan Laudya dan Livia memang tak boleh diragukan. Laudya mengganggap Livia sebagai kakak, sementara pihak yang bersangkutan menilai Laudya adalah keluarga pengganti.

Livia tak suka membahas keluarga aslinya. Setiap kali Laudya menyinggung hal tersebut, cewek ini pasti berkilah. Selama berteman dengan Livia, informasi keluarga yang Laudya tahu hanya: Kakak dan ibu Livia sudah meninggal, ayahnya super sibuk, dan sebagian sanak saudaranya adalah tenaga medis.

"Sekarang lo di mana? Keadaan lo baik-baik saja, kan? Terus, telepon siapa yang lo pakai? Lo nggak diculik, kan?"

Laudya terkikik mendapati sikap sahabatnya. Ia juga terharu manakala suara Livia begitu cemas. Astaga, Laudya jadi merasa bersalah. Harusnya sejak sampai di rumah ini Laudya mengabari Livia. Kasihan si dokter, pasti resah setengah mati.

"Gue baik-baik saja, Liv. Sekarang gue di tempat aman. Gue telepon lo untuk mastiin lo nggak stres mikirin gue."

Di seberang sana terdengar Livia mengembuskan napas. "Sumpah ya, gue beneran nyaris gila pas tahu lo minggat," kecap Livia. Antara geram dan lega. "Sekarang bilang sama gue, lo ada di mana?"

"Gue belum bisa bilang. Tapi lo nggak usah khawatir. Gue baik-baik saja."

"Beneran lo baik-baik saja?"

"Iya, Bu Dokter. Saya baik-baik saja."

Sekali lagi ada embusan napas dari Livia. Kali ini terdengar lega.

"Liv, jangan bilang ke Andre kalau gue ngehubungin lo." Laudya menyambung percakapan. "Kalau dia tanya, bilang saja lo nggak tahu. Oke?"

"Memang selalu dijawab begitu kalau dia tanya," Livia berkata. "Lo tahu, nggak? Laki lo datang ke sini setiap hari. Dia neror gue dengan pertanyaan sama, 'di mana Laudya?' Anjay, gue beneran pusing ngadepin, tuh, orang."

"Andre datengin lo tiap hari?"

"Dia ngira gue tahu lokasi lo makanya dia buntutin gue." Livia mengaku. Jujur dan berfakta. "Bahkan nggak hanya itu. Dia sudah bolos kerja berkali-kali demi nyari lo, Dya. Dan, apa lo mau tahu apa dampaknya?"

"Apa?"

"Kemarin abangnya marahin gue. Di depan pasien. Dia nyalahin gue yang katanya nggak tegas ngadepin Andreas. Dia bilang harusnya gue ngeyakinin Andreas kalau gue memang nggak tahu. Gila nggak, tuh?" Livia uring-uringan. "Heran gue sama lo. Kok, lo bisa kuat ngadepin keluarga Adinegoro?"

"Kalau gue kuat, gue nggak bakalan kabur." Laudya tersenyum pahit. "Ya sudah, Liv. Kapan-kapan gue telepon lagi. Lo jaga diri baik-baik, ya."

"Lo juga, Dya."

Percakapan berakhir ketika Laudya menaruh pesawat telepon.

Ia menyandar ke sofa lalu terpejam, merasakan sensasi luar biasa. Seumur hidup, baru kali ini ia senyaman ini. Padahal sofa di rumah lebih mewah, lebih mahal, lebih empuk. Sangat jauh dari sofa yang disandarinya sekarang. Volume benda ini tak lebih dari satu meter kubik. Rajutannya sudah cacat dan warnanya agak kusam. Aromanya masih didominasi asap rokok padahal Laudya sudah membersihkan berkali-kali. Tapi entah kenapa, agenda sandaran sofa seperti ini justru membawa Laudya pada kenikmatan hakiki.

FilantropiМесто, где живут истории. Откройте их для себя