Satu Demi Satu

19.3K 2.2K 285
                                    

Ayyash menatap mobil di hadapannya dengan mata menyipit. Secara tak terduga, ia mendapati kendaraan tersebut di pinggir jalan sunyi. Ia yakin sekali, mobil ini milik si Tuan Sempurna. Selain warna dan plat nomornya, di kaca belakang ada stiker bertuliskan DyAndre dengan bingkai berbentuk hati dan deretan tanggal di bawah tulisannya.

Ayyash tak memedulikan stiker tersebut sebab fokusnya sudah terhisap oleh status mobil ini. Roda empat ini dalam keadaan baik, kecuali bumpernya yang penyok sedikit. Empat bannya baik-baik saja, begitupun bodi dan kacanya. Di atas atapnya ada dedaunan dan debu tebal menempel di bagian jendela. Memang posisinya agak miring dan menjorok ke pohon, tapi bukan berarti Andreas hilang karena kecelakaan, kan?

Ayyash masih memandangi mobil ini. Sesekali ia mengintip lewat jendela, berharap ada tanda dari si Tuan Sempurna. Tapi sampai perih matanya menyipit, makhluk itu tak terdeteksi.

Kemudian Ayyash berinisiatif menyusuri jalanan. Ia harap di rumah sakit yang jaraknya tujuh ratus meter itu ada petunjuk mengenai si Tuan Sempurna. Meski rival, ketidakhadiran Andreas sudah mengusik nalurinya. Lebih-lebih batang hidung Andreas belum pernah muncul sejak berita kematian ayahnya tersiar.

"Yasha!" Saat melewati gerbang, seseorang memanggilnya. Itu Livia. "Ngapain?"

"Iseng jalan-jalan buat nunggu keberangkatan kereta selanjutnya."

"Ooh. Memang keberangkatannya ke mana?"

"Bandung."

"Wah, balik ke rumah, dong," kata Livia. "Omong-omong, kamu sakit?"

"Saya sehat," jawabnya. "Dok, apa Andreas pernah dirawat di sini?"

"Nggak pernah, soalnya dia sehat terus. Kenapa?"

"Saya nemuin mobilnya."

"Mobil Andreas?" Livia memelotot. Ada semburat kaget bercampur khawatir di wajahnya. "Di mana?"

Ayyash menyebutkan jalan tadi. Ruas tersebut jarang dipakai orang. Katanya, di sana agak angker. Hanya orang linglung yang biasanya lewat sana. Tadi entah insting atau iseng, Ayyash menyusuri jalan itu. Ia seperti tertarik untuk menghampiri jalan gelap itu. Niatnya yang untuk mengisi waktu sebelum ke stasiun justru malah menghadirkan petunjuk soal Andreas.

"Yash, Andreas ke mana, ya? Dia beneran nggak ada kabar. Kata pembantunya belum pulang sejak dari Bandung. Di kantor maupun di rumah orang tuanya, sama-sama nggak terdeteksi."

Ayyash mengangkat bahu. Daripada kepo soal Andreas, saat ini justru Ayyash ingin tahu sejauh mana hubungan Livia dengan pria itu. Dari gelagat dan cara bicaranya, Livia seperti benar-benar kehilangan Andreas.

"Dok, kayaknya saya harus pergi sekarang." Ayyash tak meneruskan kekepoannya soal Livia dan Andreas. Ia merasa tak perlu tahu. "Saya duluan ya, Dok."

Sepulangnya ke Bandung, Ayyash langsung melaporkan perihal mobil pada Laudya. Tetapi jawaban wanita itu malah membuatnya kaget.

"Setelah ditelepon dan dikirim pesan berkali-kali, akhirnya dia kirim jawaban juga." Laudya mengangsurkan ponsel. Wajah dan suaranya sama-sama lesu. "Dia kirim tadi pagi. Coba kamu baca."

Ayyash mengikuti ucapannya. Di sana tertulis jelas pesan dari nomor si Tuan Sempurna. Dya, aku butuh waktu sendiri. Soal kasus Dion, semuanya terserah kamu.

*
*
*

Ayyash mengembus napas geram ketika Laudya belum siap-siap.

"Dya, aku tahu kamu orang baik. Tapi kamu jangan bodoh!" Lelaki sipit itu mendekat ke arah Laudya yang masih menatapi berkas-berkas dan ponselnya. "Ini waktu yang tepat untuk menguak kebenaran. Polisi akan lebih antusias sebab kematian Prasetyo bisa dapat pencerahan juga."

FilantropiWhere stories live. Discover now