Si Mini

22.1K 2.7K 160
                                    

Seperti yang dibayangkan sebelumnya. Mbak Shofi sama sekali tak keberatan ketika Ayyash mengatakan maksudnya membawa Laudya. Ia bahkan menaruh simpati besar saat Laudya menceritakan kisahnya.

"Dia suami yang baik, tak pernah melirik perempuan lain, dan tanggung jawab. Tapi kami sudah tak sepaham, makanya cerai."

Laudya bisa saja menceritakan kisah lengkapnya. Mengenai dirinya yang selalu dihina, diinjak, dituduh berzina, dan selingkuh. Tapi mengumbar keburukan orang bukanlah dirinya. Sangat tak penting, menurutnya.

"Tinggalah semau kamu, Dya. Mbak nggak keberatan, kok." Shofi tersenyum lunak. "Mas Vian juga pasti mengerti kalau Mbak jelasin ke dia."

Meski diterima tanpa syarat, Laudya tetap tahu diri. Lagi pula tidak baik juga Laudya tinggal di rumah Ayyash tanpa status. Maka dari itu, Laudya bersedia menetapkan diri sebagai pekerja. Terutama di kafenya. Laudya pernah menjadi pelayan, sehingga nanti tak akan sulit. Kecuali kalau perutnya sudah membulat penuh. Sekitar enam sampai tujuh bulan lagi. Masih lama.

Naungan yang menampungnya merupakan rumah Ayyash dan sang kakak. Katanya, warisan orang tua. Tak ada keinginan menjual atau pindah sebab usaha toko kuenya sudah terkenal. Letak rumah ini ada di belakang kafe yang baru dibuka tahun lalu. Kafenya sendiri belum seterkenal toko kue. Kemarin waktu Laudya berkunjung, pelanggannya masih sedikit. Kata Shofi, ia memang agak kewalahan kalau mengemban dua bisnis sekaligus.

Shofi dan Alvian (suaminya) berkamar di lantai dua. Ayyash di lantai satu, paling dekat dengan ruang tamu. Karena ruangan yang kosong hanya yang di dekat dapur, mau tak mau Laudya harus menerima. Di rumah ini, pembantu hanya datang untuk bersih-bersih jadi tak perlu kamar. Masalah cuci piring dan masak adalah tanggungan Shofi. Tapi berhubung Laudya sudah memantaskan diri sebagai pekerja, maka ia yang mengambil alih tugas dapur.

"Mbak, ini Ayyash?" Laudya bertanya sambil menunjuk pigura di lemari.

Bingkai itu menunjukkan foto dua bocah yang duduk berdampingan. Yang satu perempuan, lainnya lagi laki-laki. Entah berapa umur si anak perempuan, tapi Laudya yakin itu adalah Mbak Shofi. Dan si anak laki-laki ... yang begitu menggemaskan, lucu, polos, dan mungkin umurnya sekitar enam tahunan ... benarkah ini Ayyash? Bocah di foto itu nampak bahagia. Tertawa lepas dengan mata tertutup.

Dalam citra lainnya, bocah itu hanya memakai celana renang. Tangan kanan memegang piala, sedang yang satu lagi menjunjung piagam. Di belakangnya, Mbak Shofi dan sepasang pria-wanita tersenyum bangga.

"Kurus-kurus gini aku mantan atlet."

Laudya jadi ingat kata-kata Ayyash waktu itu. Rupanya ia tak bohong. Meski tak berotot, ia cukup tinggi. Persis tiang listrik. Dan begitu melihat foto ini, Laudya jadi percaya kalau Ayyash memang mantan atlet.

"Iya, itu foto Ayyash," Mbak Shofi menjawab sambil mendekatinya. Memandangi beberapa foto lalu tersenyum. Sepertinya efek sunggingan mulut Ayyash kecil punya efek menular. "Sengaja Mbak pajang biar Ayyash ingat kalau dia pernah bahagia."

"Eh?"

"Tanpa Mbak jelaskan kayaknya kamu sudah tahu." Shofi meraih salah satu pigura. Foto Ayyash bersama pialanya. "Ayyash Rama Elisafan yang masih kecil sangat berbeda dengan yang sekarang."

Laudya melihat semburat wajah Shofi yang berubah menjadi lebih sedih. Matanya yang menatap pigura mulai berair, kemudian membenturkan setetes bening ke atas foto. Lama-lama, wanita itu tergugu. Sesenggukannya bikin hati Laudya teriris.

Refleks, Laudya pun memeluknya.

Ia tak pernah tahu kisah duka mereka. Waktu bertukar cerita, Shofi hanya bilang Mami meninggal tiga jam setelah melahirkan Ayyash akibat pendarahan. Satu tahun kemudian Papi menikah lagi, tapi mereka bercerai ketika umur Ayyash tujuh tahun. Lima tahun kemudian, Papi meninggal karena penyakit jantung.

FilantropiWhere stories live. Discover now