Ciiiiittt!!

Violeta tersentak mendengar bunyi itu. Ia menoleh ke sebelah kanan, di mana cahaya lampu dari sebuah mobil menyorot dirinya. Violeta baru menyadari kalau dirinya hampir saja tertabrak saat hendak menyeberang karena terus melamun. Jantungnya berdetak sangat cepat. Jika saja mobil itu tidak segera berhenti....Lucu memang, di saat tadi siang ia hendak terjun dari gedung tinggi, kini ia malah ketakutan saat hampir tertabrak mobil.

Pintu pengemudi mobil itu dibuka dan sesosok pria keluar dari mobil itu. Violeta yang masih terkejut dan efek dari sorotan lampu mobil tidak dapat melihat dengan jelas sosok yang berjalan ke arahnya. Ia hanya mencoba menenangkan jantungnya dan refleks mengelus perutnya.

"Kamu mau mati?!"

Sebuah suara yang sangat familier terdengar di telinga Violeta. Napasnya seolah tertahan sesaat. Violeta mendongak dan mencoba melihat dengan jelas wajah dari sosok yang lebih tinggi darinya itu.

"P-pak Dilian...?" gumam Violeta yang terkejut. Ia tidak menyangka kalau orang yang sedari tadi ada di pikirannya, kini sudah berada di hadapannya.

Apakah ini jawaban Tuhan?

"Kamu tidak dengar apa yang saya katakan?! Kamu mau saya menabrak kamu, lalu meminta ganti rugi, hah?!" seru Dillian.

Mendengar hal itu Violeta buru-buru meralatnya, "Bu-bukan, Pak. Saya benar-benar tidak ada maksud seperti itu."

"Dengar! Saya mau kamu menyingkir jauh-jauh dari mobil saya, sekarang!"

Mendengar seruan Dillian, Violeta langsung melangkah mundur. Saat Dillian hendak berbalik dan kembali ke mobil, Violeta refleks menarik jaket denim yang dikenakan pria itu. Violeta sendiri tidak mengerti alasan ia melakukan hal itu. Bahkan ia sendiri tidak sadar akan apa yang sudah ia lakukan.

Apa lebih baik aku memberitahukannya?

"Lepaskan tanganmu!" geram Dillian sambil menepis tangan Violeta dari jaketnya.

"Be-begini, Pak....A-ada yang perlu saya bicarakan," ucap Violeta, mencoba memberanikan diri.

Dillian menatap jengah pada Violeta.

"Apa yang mau kamu katakan? Cepat!"

"Ini ... tentang malam itu—"

Dillian langsung mencengkram lengan kiri Violeta sambil membalik tubuh Violeta untuk membelakangi mobilnya.

"Apapun yang mau kamu katakan, saya tidak peduli dan tidak berminat untuk mendengarnya! Dengar, jangan pernah sebut-sebut 'malam itu' kalau kamu masih ingin tetap bekerja di Easton Company!" ancam Dillian sambil berbisik.

"Ta-tapi, Pak. Saya ha—"

"Dili!"

Violeta dan Dillian sama-sama menoleh ke sumber suara itu.

"Apakah ada masalah?" tanya sosok perempuan yang berdiri di dekat pintu mobil Dillian. Violeta merasa tidak asing dengan sosok itu. Ia yakin pernah melihatnya.

Restoran. Ya, aku melihat mereka berdua berciuman di restoran itu. Ja-jadi dia adalah....

Violeta menoleh kembali pada Dillian yang kini tersenyum pada wanita tersebut. Sebuah senyuman yang tidak pernah ia lihat sejak pertama kali bertemu pria itu hingga saat ini. Senyuman itu berbeda dengan senyuman formal yang selama ini Dillian tampilkan. Senyuman yang tulus, senyuman yang penuh dengan ... cinta.

"Apapun yang ingin kamu katakan, bagiku hal itu tidak penting. Ingat, kamu sudah menandatangani surat perjanjian itu. Sekali saja kamu membahas 'malam itu', saya akan langsung memecatmu!"

Dillian melepaskan cengkraman di lengan Violeta dan mendekati kekasihnya. Violeta melihat Dillian mengelus pipi perempuan tersebut dan membantunya masuk kedalam mobil. Sikap manis Dillian yang selama ini tidak pernah sekalipun ia lihat.

Sebelum masuk ke mobil, Dillian menatap tajam Violeta. Tatapan itu seolah menegaskan pada Violeta akan posisinya di mata Dillian yang tidak akan pernah berubah, sekalipun ia sedang mengandung darah daging pria itu. Violeta hanya bisa melihat Lamborghini Aventador berwarna putih yang semakin menjauh darinya.

 Violeta hanya bisa melihat Lamborghini Aventador berwarna putih yang semakin menjauh darinya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Violeta masih membisu. Tangan kanannya menyentuh rasa sakit di dalam dada yang ia rasakan. Rasa sakit itu sama dengan rasa sakit yang pernah ia rasakan saat ia melihat Bram kala itu.

Ada apa denganku?

Violeta tidak mengerti mengapa dadanya seolah-oleh ditusuk ratusan jarum tak kasat mata, bahkan matanya seketika berair. Air mata itu lolos begitu saja bersama dengan perasaan menyesakkan yang ia rasakan.

Kenapa? Kenapa aku menangis? Apakah aku sedih karena Pak Dillian bersikap seperti itu padaku? Tidak, seharusnya aku sudah terbiasa akan sikap yang ia tunjukkan itu, kan? Lalu kenapa...?

Violeta menggelengkan kepala saat sebuah jawaban seolah muncul begitu saja di dalam pikirannya. Ia berusaha membantah dan membuang jauh-jauh hal itu. Sebuah jawaban yang mustahil untuk diterima oleh logikanya. Sebuah jawaban yang hanya akan membawanya pada rasa sakit lebih dalam. Violeta menghapus air matanya dan kembali berjalan pulang. Masih banyak yang harus ia pikirkan ke depan, yaitu mengenai masa depan dirinya dan anak di dalam kandungannya.

Seringkali sebuah jawaban yang kita inginkan sesungguhnya sudah berada di depan mata. Namun di saat hal itu berlawanan dengan harapan, kita lebih memilih menutup mata, seolah-olah tidak melihatnya.

###

Oh iya, ada info menarik nih, untuk kamu yang tinggal di daerah Jakarta, WAJIB banget follow akun instagram dan wattpad dari KoWaJa . 

Untuk tahu info lengkapnya cek aja langsung ke akunnya KoWaJa, ya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Untuk tahu info lengkapnya cek aja langsung ke akunnya KoWaJa, ya.

Untuk tahu info lengkapnya cek aja langsung ke akunnya KoWaJa, ya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Love,

Depurple

VioletaWhere stories live. Discover now