Violeta terdiam mendengar penuturan wanita itu.

"Ibu Indah Wijasa."

"Ah, namaku sudah dipanggil. Aku masuk dulu, ya," ucap wanita itu sambil berdiri perlahan-lahan.

Violeta sendiri masih terdiam. Naluri keibuan? Apakah ia juga memilikinya? Bahkan kini pikirannya masih dipenuhi dengan penolakan akan anak tersebut. Ia tidak mungkin memberitahu Dillian tentang kehamilannya. Sekalipun ia memberitahu pria itu, ia yakin jawabannya akan sama, yaitu menggugurkan kandungannya. Tidak mungkin pria itu mau bertanggungjawab. Violeta sadar diri, jika ia melakukan hal itu, sama saja dengan memberikan Dillian kesempatan untuk memecatnya.

***

"Selamat pagi, Bu," sapa dokter.

Violeta duduk di kursi yang sudah di sediakan. Ia hanya tersenyum kecil menjawab sapaan dokter itu.

"Jadi ... Anda pertama kali datang ke sini. Apa sebelumnya sudah pernah periksa kandungan?" tanya dokter Anna.

"Belum, Dok. Saya hanya menggunakan testpack dan hasilnya positif."

"Baiklah, kalau begitu saya akan periksa ya."

Violeta masih terdiam tanpa beranjak sedikitpun dari bangkunya. Dokter Anna yang sudah berdiri, menatap Violeta dengan tatapan bingung.

"Bu Violeta," panggil dokter Anna.

"Be-begini, Dok." Violeta mencoba memberanikan diri bertanya.

"Apa benar kalau ... dokter bisa mengugurkan kandungan?"

Ekspresi dokter Anna berubah setelah mendengar pertanyaan Violeta. Ia masih terdiam menatap Violeta. Sekilas ia menoleh pada perawat lalu duduk kembali di hadapan Violeta. Perawat tersebut keluar dari ruangan itu, hanya menyisakan dokter Anna dan Violeta.

"Apakah Anda memiliki penyakit tertentu?" tanya dokter Anna.

"Tidak, Dok. Hanya saja...." Dokter Anna menatap mata Violeta.

"Maaf, kalau saya lancang. Tapi boleh saya tahu, kenapa Anda ingin mengugurkan calon anak Anda?"

Violeta mengalihkan pandangannya ke arah lain, mencoba mempertimbangkan jawaban yang harus ia berikan.

"Saya ... sama sekali tidak berencana untuk hamil," ucap Violeta.

Dokter Anna membuka data Violeta yang ada di mejanya. Ia terdiam beberapa saat.

"Apakah ... Anda yakin akan melakukan ini?" tanya dokter.

Violeta menatap dokter itu. Perlahan ia menganggukkan kepalanya.

"Apakah keluarga dan ayah dari janin ini tahu serta sudah memberikan izin?" tanya dokter itu lagi.

Violeta hanya diam. Matanya kembali menatap tas yang ada di pangkuannya, sebelum akhirnya ia berbohong dan menganggukkan kepala.

Dokter Anna menatap calon ibu di hadapannya.

"Baiklah. Mari kita USG dulu," ucap dokter Anna.

Violeta langsung mendongak dan menatap dokter itu.

"Ha-haruskah, Dok?" tanya Violeta.

"Tentu, Bu. Saya harus mengetahui letak dan posisi janin tersebut, juga usianya saat ini. Dari sana saya baru bisa tahu proses seperti apa yang bisa saya lakukan untuk mengaborsinya."

Mendengar kata aborsi, hati Violeta bagaikan dihujam pisau. Bodoh bukan? Padahal dia sendiri yang memutuskan hal itu, tapi sekarang ia sendiri yang merasakan kata tersebut sangatlah kejam.

VioletaWhere stories live. Discover now