"Perkenalkan, ini sekretaris saya, Celin." Celin bisa melihat senyum sinis saat Vino memperkenalkannya karena jelas Vino tahu bahwa Davian memang mengenal Celin. Celin merasa tidak nyaman berada di bawah tatapan Davian, entah apa yang dipikirkan laki laki itu tapi sedari tadi Davin selalu menatapnya tanpa malu malu.

"Saya Kanya, sekretaris Pak Davian sekaligus calon istrinya." Wanita yang memperkenalkan dirinya sebagai Kanya itu mengembangkan bibirnya dengan lebar memperlihatkan deretan giginya yang rapi.

Cantik, batin Celin.

Entah kenapa dia merasa ciut jika bersanding dengan wanita itu. Celin jelas sangat terkejut bahwa wanita di depannya adalah calon istri Davian sekaligus penghancur hubungan mereka. Hubungan? Bahkan Davian tidak pernah memperjelas apa status hubungannya dengan dirinya, koreksi Celin dalam hati.

Pertemuan itu berlangsung sangat lama dari yang dia bayangkan. Entah karena memang banyak hal yang harus mereka diskusikan atau memang Celin yang tidak bisa fokus sedari tadi. Kanya sudah terang terangan memandang tajam Celin saat mengetahui Davian selalu memandanginya dengan tatapan yang sulit diartikan. Dengan kesabarannya, akhirnya rapat itu sudah berakhir dan ditutup dengan jamuan makan siang.

"Permisi, saya mau ke toilet sebentar." Tanpa mendengar persetujuan dari orang di sekitarnya, Celin berdiri dan segera menuju kamar mandi.

Kacau, pucat, mengenaskan, semuanya bercampur menjadi satu saat wanita berambut sepinggang itu menatap pantulan wajahnya sendiri di cermin. Jika boleh jujur, dia ingin segera pergi saja dari tempat ini. Hatinya sangat tahu bahwa di dalam sana masih tersimpan dengan baik nama Davian. Kedekatan mereka yang dimulai semenjak celin menginjak kelas 11 itu tidak mungkin bisa dia lupakan begitu saja.

FLASHBACK

"Cel kenapa kita kesini?" Celin yang melangkah dengan cepat tidak memedulikan teriakan Vino di belakangnya.

Celin terus melangkah sampai dia melihat punggung laki laki. Laki laki yang selama ini sangat disayangi dan dicintainya, laki laki yang berperan penting untuk membuat detak jantungnya berubah drastis. Celin menambah kecepatannya dan langsung memeluk tubuh itu dari belakang, bahkan parfumnya pun sangat dikenal Celin.

"Kau datang." Celin mendengar desahan lega dari sumber suara yang sangat disukainya.

Pelukannya melonggar dan tubuh itu berbalik, menampakkan wajah Davian yang penuh cinta.

"Bagaimana aku tidak datang di hari keberangkatanmu menuju Amerika. Apa kau benar benar harus pergi?" Titik bening menggenang di pelupuk matanya, dia sudah mencoba menahan tangisnya tapi tetap tidak bisa, jadi jangan salahkan dirinya karena bersikap cengeng di depan orang yang dicintainya.

"Sayangnya iya. Aku mohon jangan menangis. Aku harus melanjutkan kuliahku disana." Keadaan bahwa Davian memang setahun lebih tua darinya membuatnya lulus duluan dan harus pergi meninggalkan negara kelahirannya ini.

"Kau pasti kembali kan?" Celin memegang lengan Davian yang sudah berada di samping kepalanya untuk mengahapus titik titik yang membasahi pipinya.

"Pasti, aku akan sering menghubungimu disana. Tunggu saja aku disini." Perlahan Davian menarik tubuh mungil Celin ke dalam pelukannya, memastikan bahwa ini hanyalah cobaan kecil di antara mereka. Celin meraup rakus bau Davian yang akan selalu dirindunya setiap saat itu. Sampai akhirnya Davian melepaskan pelukannya dan berjalan pergi dengan kopernya setelah mengecup kening Celin singkat.

Celin terisak, merasa takdir sangat tidak berpihak padanya karena harus memisahkan dirinya dengan Davian. Memang mereka tidak pernah berkata bahwa di antara mereka terdapat komitmen tetapi dengan setiap perlakuan pada sesama sudah membuktikan bahwa mereka saling mencintai.

Celin menyadari terdapat lengan yang membingkai punggungnya. Di sampingnya sekarang sudah berdiri sahabatnya sekaligus teman sebangkunya, Vino. Laki laki itu sangat tau perasaan Celin kepada Davian yang sudah ada semenjak Davian menjadi anggota osis yang mengospek mereka.

Celin memeluk tubuh Vino, dia tidak ingin menjelaskan apa apa saat ini. Karena tadi dia langsung menyuruh Vino mengantarkannya ke bandara tanpa memberikan penjelasan apapun. Tapi sepertinya sekarang Vino sudah mengetahui jelas situasinya.

Vino hanya menatap sendu Celin. Andai perempuan yang di pelukannya saat ini tahu bahwa dirinya menyimpan rasa sayang yang lebih besar darinya, andai perempuan ini tau bahwa dia akan selalu ada di sampingnya dalam keadaan apapun, andai perempuan ini tau bahwa dia juga sakit melihat orang yang dicintainya menangisi kepergian orang lain. Hanya pengandaian yang bisa dia harapkan karena tidak ada secuil keberanian untuk mengungkapkan semua itu.

FLASHBACK END

Celin tergugah dari lamunannya, dia memeriksa riasannya kembali dan segera keluar dari toilet. Tiba tiba ada tangan yang menariknya dengan kasar, membawa dia ke ujung lorong sebelah kamar mandi yang diperuntukan hanya untuk pegawai -tapi kelihatannya sepi karena restorannya sangat ramai.

"Davian?" Celin terperangah saat melihat wajah laki laki itu yang telah menariknya.

"Aku ingin berbicara denganmu," ucapnya tegas tak terbantahkan. Celin sedikit ragu, dia tidak ingin mendengar alasan yang malah akan menjadi bomerang bagi dirinya. Bagaimana jika memang selama ini Davian tidak mencintainya dan hanya mempermaikannya? Celin tidak bisa memikirkan semua itu, tapi di sini saat dia melihat mata itu lagi, mata yang dirindunya setelah lebih dari 4 tahun mereka tidak bertemu, rasa rindu itu merayap lagi, merasuk kedalam hatinya tanpa bisa dicegah. Kali ini Celin mengakui bahwa dia kalah, karena dia tahu bahwa laki laki di depannya tetap pemilik hatinya, seperti dulu.

***

My Perfect CEOWhere stories live. Discover now