7 - Mengukir Kenangan Bahagia

Mulai dari awal
                                    

Brukk...

Alvin menjatuhkan kardus yang dibawanya begitu saja, cepat dia mendekat kearah Rio yang wajahnya sudah seputih kapas kecantikan.

Rio menyerngit, "Kenapa sih?"

Alvin merangkul Rio dan mengajaknya untuk duduk di kursi terdekat, detik berikutnya Ia membuka botol minum dan menyerahkannya pada Rio "Minum dulu, muka lo udah kayak singkong rebus tuh!" omel Alvin. Untung temen, kalau musuh pasti udah habis daritadi. Baru saja Ia hendak melanjutkan ceramahnya saat tiba-tiba pandangannya teralih pada sealiran darah yang merembes dari hidung sahabatnya.

"Astaga, Lo mimisan!" seru Alvin panik.

Rio reflek mengarahkan punggung tangannya kearah hidung, memastikan ucapan Alvin. Ia reflek bangkit dati posisinya sambil menutup area hidung yang rasanya semakin basah.

"Gu... gue ke toilet dulu"

Alvin ikut berdiri, menahan lengan Rio untuk tidak pergi. Netranya menelisik sekeliling, mencari tisu, kain atau apapun yang sekiranya bisa digunakan untuk membersihkan darah itu, tidak hilang akal Alvin merobek kemejanya asal, berutung dia memakai kaos gelap sebelumnya. "Pakai ini aja, nggak lucu kalau lo pingsan dijalan"

"Thanks."

Alvin diam menunggu sementara Rio sibuk membersihkan darah yang belum mau berhenti.

"Gue nggak apa-apa kok, lo tenang aja" ujar Rio memberitahu, meski masih lemas setidaknya badannya masih bisa diajak kompromi, sudah cukup Ia merepotkan Alvin hari ini.

"Beneran?"

Rio mengangguk. "Iya, yuk kerja lagi biar cepet selesai nih panggung" lanjutnya mengalihkan pembicaraan.

Alvin menahan badan Rio untuk tetap duduk sebelum lelaki itu sempurna berdiri. "Udah, biar gue aja. pasti beres kok ini semua!" Ujarnya sambil mengambil kardus yang Ia jatuhkan tadi. sementara Rio pasrah hanya menjadi penonton daripada harus membangunkan macan tidur.

❇❇❇

Malam harinya ...

Rio melangkah masuk setelah mendapatkan izin dari sang empunya ruangan, dari posisinya sekarang Ia dapat melihat Pak Tama tampak riweuh dengan tumpukan dokumen di atas meja kerjanya.

"Kenapa, Nak?"

Rio terpaku sejenak, sejak tinggal bersama dan saling mengenal dalam satu keluarga, panggilan itu beberapa kali terucap dengan kehangatan yang serasa menguar keseluruh tubuh.
Kendati pekerjaannya sebagai Direktur utama membuat beliau lebih sering menghabiskan waktu dijalan daripada dirumah, Pak Tama tidak pernah melupakan apapun yang berhubungan dengan istri dan anak-anaknya. Sebisa mungkin beliau menyempatkan waktu untuk sekedar sarapan atau makan malam setiap harinya, kalaupun tidak bisa setidaknya masih ada cara berkomunikasi lain yang bisa dilakukan.

Rio melangkah menuju belakang kursi tempat Pak Tama duduk kemudian meletakkan telapak tangannya di punggung sang ayah, memijatnya perlahan. "Pa..."

"Ya?"

"Makan dulu yuk? Mama udah nungguin tuh..."

"Oh, iya ... kamu duluan aja, Papa beresin ini dulu" balas Pak Tama setelah beberapa saat, beliau bergerak merapikan laporan yang berserakan di atas meja.

Rio mengangguk, memutar badan hendak beranjak meninggalkan ruang kerja sang ayah. Namun naas, baru beberapa langkah Ia berjalan sebelah kakinya mendadak kram, seperti menarik beban berat.

Ya tuhaaan, kenapa harus sekarang?

Ia memejamkan mata sejenak, tidak bisakah sakit ini ditunda sebentar? Setidaknya setelah Ia mencapai pintu dan keluar dari ruangan ini?

Arrgh...

Ia menunduk dalam, nyeri di kakinya serasa menaik sampai ke dada, nafasnya memberat. Meski agak kepayahan, Ia menguatkan sebelah kakinya yang kini menjadi tumpuan utama, tinggal lima langkah lagi saat Ia merasa tubuhnya kian melemas.

"Ya tuhan, Rio!" Pak Tama yang tadinya sibuk membereskan meja menoleh begitu mendengar bunyi gedebuk yang cukup keras, betapa terkejutnya beliau mendapati Rio terduduk di dekat pintu.

"Kamu kenapa? Mana yang sakit?" Pak Tama bergerak hendak membantu Rio bangun saat lengannya justru diremas kuat oleh sang putra.

"Rio..."

"Mario..."

"Jawab Papa!"

"K... ka... kakiku... s... sakit banget, Pa..." Rio meringis, Ia ingin menangis saking sakitnya. Ia pasrah saja ketika Pak Tama memapahnya dan membaringkan di sofa.

"Duduk dulu biar Papa telepon dokter"

"Jangan, Pa!" Rio menggeleng cepat, satu tangannya beralih memijit pelan sebelah kakinya, berharap gerakan itu mampu meringankan denyutan yang serasa menusuk di dalam sana.

"Kamu yakin?"

Rio mengangguk

"Papa anterin ke kamar aja kalau gitu, biar kamu istirahat... kecapekan pasti"

Lagi, Rio menggeleng "Enggak usah, Pa... kita turun aja yuk, Rio udah laper..."

Pak Tama mengangguk.

Sepanjang jalan ke meja makan Pak Tama menggandeng lengan putranya erat, langkahnya dibuat pelan untuk mengimbangi Rio yang belum pulih seratus persen.
Setibanya disana tampak Bu Manda, Gabriel, dan Ray menunggu di kursi masing-masing.

"Hallo semua..." sapa Rio ceria.

"Ya ampun, lo jemput Papa lewat mana dulu coba? lama banget!" komentar Gabriel. Rio tersenyum lebar

"Tahu! sampai lumutan gue nunggu" tambah Ray

Bu Manda tersenyum senang melihat interaksi ketiga putranya. Pak Tama mengambil tempat di sebelah Bu Manda sambil menepuk pelan pundak Gabriel dan Ray gantian.

"Udah, nggak baik main serang di depan makanan"

"Iya... iya... Pa."

Detik berikutnya mereka tampak asyik menikmati menu makan malam bersama, rutinitas wajib yang tidak berubah setiap harinya.

Beberapa menit berlalu, satu persatu mulai menuntaskan makan malam mereka, menikmati waktu bercengkrama sebelum beristirahat.

"Oiya, Pa... Ma... besok kan ada acara disekolah, kalian bisa datang? interupsi Gabriel setelah aktifitas makannya selesai.

"Woaaah, kalian pada tampil nggak?" sahut Ray semangat.

"Iya dong" sahut Rio dan Gabriel barengan.

Meski bukan acara besar setidaknya sumbangsih untuk besok telah dipersiapkan oleh anggota Osis dan panitia penyelenggara, tinggal bagaimana tampil prima dan memeriahkan acara saja.

"Kalau mama sih tergantung Papa..." Kata Bu Manda ambigu.

Gabriel dan Rio menatap Pak Tama dengan ekspresi memohon, jangan lupakan puppy eyesnya yang masih saja seperti anak usia lima tahun.

"Datang ya, Pa..."

"Ayolah, Pa..."

Pak Tama nampak berfikir, ruangan mendadak sunyi sampai kemudian Pak Tama mengangguk.

"Yey! Makasih, Papaaaa..."

[2] BAHASA RASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang