TIGABELAS

32.8K 2.3K 99
                                    

Ketika mobil Gabriel berhenti di bandara jantung Prilly berdebar-debar, ia menggigit buku-buku jarinya, sedikit gelisah, ia menghela nafas dan kemudian dengan penuh tekad ia memantapkan hatinya untuk benar-benar pergi. Sebuah tepukan di bahu menyentakkan Prilly dari lamunannya, ia menoleh dan menemukan Gabriel tengah tersenyum lembut padanya lalu mengangguk.

"Kau sudah siap?" tanyanya.

Kembali Prilly menghela nafas, ia kemudian mengangguk. "Tentu saja"

Lalu Gabriel mengambil mantel tebal berwarna hitam yang sudah tersedia di samping jok mobilnya, kemudian diberikannya kepada Prilly. "Pakai ini, agar kepergian kita tidak terlacak"

Prilly mengangguk patuh, dengan segera ia memakai mantel tebal berwarna hitam sedangkan Gabriel berwarna abu-abu. Mantel itu benar-benar membungkus tubuh mereka berdua, menjuntai sampai mata kaki, mantel itu memiliki topi untuk menutupi bagaian kepala mereka. Dan ketika sudah siap, hasilnya benar-benar sempurna, siapapun akan kesulitan mengenal mereka.

"Kita harus pergi" lalu Gabriel menatap supir sekaligus orang kepercayaannya yang duduk dikursi kemudi mobil, "Malik, apa kau sudah menyiapakan semuanya?" tanyanya.


Malik mengangguk, "Semuanya sudah beres tuan, bahkan saya yakin tidak akan ada yang mengetahui kepergian tuan"

Gabriel mengangguk, ia kemudian menatap Prilly kembali. "Ayo!"

*****

Waktu berlalu, sampai saat ini Ali belum bisa menemukan Prilly. Seluruh orang kepercayaannya sudah dikerahkan untuk mencari kemana-mana, akan tetapi hingga saat ini belum satupun dari mereka memberikan kabar bagaimana hasilnya.

Ali takut teramat dalam, seluruh tubuhnya seperti mati rasa. Hatinya kosong, seperti direnggut dengan paksa dari dalam sarangnya, dan itu sangat menyakitkan sekali. Kenangan bersama Prilly muncul kepermukaan, kenangan ketika pertama kalinya ia bertemu dengan gadis itu, kebersamaan mereka saat ia membantu Prilly di kios kuenya, senyuman yang lembut dan penuh ketulusan itu, tawa lepas itu, gadis itu benar-benar indah, luar dan dalam. Hingga pada akhirnya ia menikahi Prilly lalu menyakitinya membuat semua keindahan di dalam diri Prilly terenggut sedikit demi sedikit tergantikan oleh air mata penuh kepahitan. Mata Ali semakin basah, menahan rasa sakit, dadanya sesak, dan dengan penuh kepahitan ia mengehela nafas.

"Kau bahkan ingin membunuhku! Membunuh istrimu sendiri!"

Kata-kata Prilly terakhir itu membuat dada Ali semakin berdenyut, penuh kesakitan. Bagaimana terlukanya Prilly saat itu, kondisi Prilly yang mengenaskan dan air mata itu, air mata yang entah keberapa kalinya keluar dari pelupuk mata Prilly karenanya. Air mata yang sekalipun tidak pernah ia nikmati dengan bahagia melainkan menyakiti hatinya juga, tidak pernah ia merasa puas ketika menyakiti Prilly, yang ada ia merasakan kesakitan yang sama.

"Prilly..." Ali bergumam dengan suara serak, bergetar dan menyesakkan dada dengan mata terpejam penuh kesakitan, dan itu membuat Marcus yang duduk disampingnya menoleh menatapnya.


"Kumohon... Kembalilah.. Jangan pergi" Ali terisak pelan, air mata mengalir dari sudut matanya yang tertutup, ia terlihat begitu hancur berkeping-keping.

Marcus merasa iba, belum pernah ia melihat Ali seperti ini, bahkan di saat kedua orang tuanya meninggalpun Ali tidak serapuh dan sekacau ini. Dengan lembut ia mengelus bahu Ali, dan itu langsung membuat bahu Ali bergetar dengan air mata yang sudah tumpah ruah, menyakiti hati.


"Li..." Marcus memanggil dengan suara pelan.

"Paman... Katakan kalau dia tidak pergi, dia pasti cuma pergi sebentar kan? Nanti dia pulang lagi kan? Paman aku..." suara Ali tercekat, tertelan oleh rasa sakit, terdengar menyedihkan.


LOVE BEHIND HATETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang