DUABELAS

33.8K 2.3K 116
                                    

Nafas keduanya terengah saat sudah berhasil meloncat dari atas tembok. Gabriel kembali menggenggam tangan Prilly, ia menatap Prilly lalu mengangguk.


"Kita harus cepat, sebelum mereka mengetahuinya. Mobilku berada sedikit jauh di ujung jalan sana" dan kemudian ia menarik Prilly berlari, sementara itu Prilly sejenak menatap rumah Ali. Dadanya tiba-tiba saja berdenyut, menyadari kalau saat ini ia akan benar-benar pergi, dari kehidupan Ali, suaminya. Tidak terasa mata Prilly berkaca-kaca, menahan perasaan lega sekaligus rasa sesak di dada. Jauh di dalam lubuk hatinya, ada sedikit rasa enggan untuk meninggalkan Ali, seburuk apapun Ali menyakitinya tetapi itu sama sekali tidak sedikitpun bisa mengikis rasa cintanya terhadap Ali. Akan tetapi sebagai wanita biasa, ia juga menginginkan kehidupan yang layak, kehidupan yang membuatnya bahagia, dan kalau ia ingin kehidupannya yang layak, berarti ia harus pergi dari hidup Ali. Kalau tidak, Lelaki itu akan terus menyakiti, dan bahkan ingin membunuhnya. Mengingat itu tekad Prilly menjadi semakin kuat untuk meninggalkan Ali, dengan cepat di tepisnya perasaan yang tidak ingin meninggalkan Ali.


Semakin jauh berlari, sedikit demi sedikit rumah Ali sudah tertinggal jauh disana, dengan berat ia menghela nafas lalu menatap Gabriel yang nampak berkeringat, kemudian Prilly menyentakkan lengan Gabriel membuat Lelaki itu menoleh menatapnya.

"Kita harus berlari lebih cepat lagi" katanya. Gabriel tersenyum, menampakkan lesung pipinya yang manis, ia mengangguk kemudian langkah larinya semakin cepat dan Prilly menyeimbanginya.

****

Suasana menjadi hening. Detak jantung Ali terdengar kencang, Lelaki itu nampak diam bergeming dengan perasaan berkecambuk. Di tatapnya Marcus dengan tatapan kalau Marcus pasti keliru.


"Paman...aku, paman pasti salah" Ali berkata dengan suara parau, menahan perasaan sesak. Masih belum bisa menerima kenyataan yang baru saja Marcus katakan.

Marcus menggeleng, ia menghela nafas. "Tidak... Ali, semuanya benar.. Borneo tidak memiliki anak, istrinya mengalami kanker rahim yang pada akhirnya rahim istrinya harus di angkat dan itu menyebabkan kalau istrinya tidak bisa hamil" Ia menatap Ali serius, "Ketika Daddymu menemukan bayi 3 bulan berjenis kelamin perempuan yang berada di pondok itu, ia langsung teringat akan Borneo yang begitu ingin memiliki anak, Daddymu berinisiatif untuk memberikan bayi itu kepada Borneo. Paman ada disana ketika daddymu membawa bayi itu, dan saat itulah kita bertiga yang memberikan nama Prilly Amora"


Nafas Ali tersengal, tatapannya langsung terluka. Tiba-tiba saja bayangan ketika ia menyakiti Prilly, muncul kepermukaan. Air mata itu, tangisan itu, rintihan itu, kesakitan itu, dan kejadian pelecehan itu. Semua bayangan itu langsung menghantam hati Ali, begitu keras, menimbulkan rasa sakit teramat dalam.


"Tidak mungkin.. Paman, Prilly..." suara Ali terdengar lirih, tersiksa.

"Semuanya benar Ali, paman tidak berbohong"

Marcus menatap Ali sendu, menyadari kalau Ali pasti sudah melakukan suatu kesalahan.

"Apakah... Apakah kau sudah menyakitinya?"

Ali bergeming menatap Marcus, bibirnya bergetar pucat. "Sudah terlalu jauh... Aku.. Aku... Brengsek!" Ia berteriak, menjambak rambutnya, terlihat begitu menyesal.

Marcus menggeleng tidak menyangka, ia mengusap wajahnya dengan kasar.


Mata Ali merah, dan tanpa ia sadari sudah basah. Dadanya sesak, sesuatu di dalam dirinya bergemuruh. Sakit, perih, pedih berbaur menjadi satu, membuatnya tersiksa dengan luka yang menganga. Ditatapnya Marcus dengan tatapan paling menyesal.

LOVE BEHIND HATETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang