Chap 19 (Keep Smile)

2.1K 125 0
                                    

"Bukan hanya membutakan. Cinta juga tak tau diri."~Mrs. Pane.
***

"Gue kangen lo Ra. Sumpah." Dirga menatap Nara lekat. Tak menyangka jika Nara masih menerimanya. Bukan sebagai pacar tentunya, melainkan teman. Sedikit kecewa sebenarnya, tapi daripada tak diterima sama sekali?

Nara tertawa kecil mendengarnya, "Kenapa? Bukannya lo setiap saat merhatiin gue?"

"Kan beda Ra. Gue emang ngeliat lo, tapi nggak bisa ngerasain keberadaan lo. Itu sama aja kayak, lo mules, tapi nggak kebelet." Jelas Dirga membuat Nara sedikit tertawa.

"Berarti gue eek dong?"

Dirga menggeleng. "Enggak lah. Lo bukan kotoran. Lo itu udah kek darah yang ngalir ditubuh gue. Dari jantung, dibawa pembuluh darah ke paru paru, terus balik lagi ke jantung. Lo bagian penting di hidup gue. Sejauh manapun lo ninggalin gue, lo bakalan balik lagi ke gue. Kek darah yang berasal dari jantung, akan balik lagi ke jantung. Egois memang, tapi inikan sifat manusia. Wajar."

Nara mengangguk anggukan kepalanya pelan, "sedikit lebay sih, tapi gapapa. Keren!"
***

Nara tersenyum. Kali ini berusaha setulus mungkin. Dirinya kini sedang menunggu Raja sendiri. Dytha dan Daffa pulang ke rumahnya masing masing. Vano dari tadi tak mendatangi Rumah Sakit. Mamanya pergi entah kemana. Dirga pulang, tak mungkin dia menginap. Dia tau betul Dirga. Dia tak akan lama lama berada satu ruangan hanya dengan seorang wanita. Walaupun ada Raja sekalipun, tapi Raja tak sepenuhnya sadar. Orang bilang, entah benar atau tidak. Orang koma bisa mendengar apa yang orang di sekitarnya bicarakan. Jadi, Raja bisa di bilang sadar, dan tidak sadar.

Dirga. Nara tak menyangka dia akan bertemu dengan Dirga. Dia ingat, ketika dulu dia masih berpacaran dengan Dirga. Tertawa sebentar, hanya Dirga mantan yang masih dekat dengannya.

Nara menggenggam tangan Raja. Mengelusnya lembut. Sudah berapa hari Adiknya tertidur? Tiga? Atau Empat? Lebam di tubuhnya bahkan sudah tak begitu ketara. Tapi sampai detik ini, Rajanya belum sadar juga.

Nara tersenyum, "Nggak papa. Nggak papa kalo Raja belom mau bangun. Nggak papa. Aku bakal nunggu kamu. Selalu nemenin kamu, disini. Jangan lama lama tidur ya? Badanmu tiap hari makin kurus. Mukamu udah mulai nggak terurus."

Nara berucap sambil mengelus wajah Raja penuh sayang. Di dalam hatinya, sejujurnya sakit melihat Adiknya terus terusan tak sadarkan diri. Tapi, dia harus kuat. Agar Raja akan melihatnya bahagia disaat membuka matanya nanti.

Nara tau Raja mendengarnya. Nara tau, Raja selalu merasakan setiap belaian kasih sayangnya. Tapi Raja tak bisa meresponnya.

"Coba aja, Papa disini. Pasti kamu udah sembuh. Pasti kamu sekarang lagi main sama aku. Pasti kamu lagi manjain aku."

Nara tiba tiba teringat akan papanya. Dia dokter. Dokter spesialis yang cukup handal. Dia tersenyum mengingat papanya. Ah, rasa rindu semakin dirasakannya. Dalam hatinya selalu berharap, suatu saat dia kembali bertemu dengan papanya, dan keluarganya kembali utuh seperti sedia kala.

Nara rindu masa masa itu. Sial, tapi takdir mengubah masa masa yang dirindukannya menjadi masa masa yang sangat kelam baginya.

Nara menggeleng kali ini, tidak. Dia tidak akan menangis ataupun kecewa dengan semua ini. Sudah tak ada gunanya menangis. Yang harus dia pikirkan kali ini bukanlah menangis dan meratapi hidupnya. Tapi Raja. Bagaimana caranya dia mengembalikkan senyum di wajah Raja. Bagaimana caranya agar Raja bisa kembali menggenggam tangannya. Bagaimana caranya agar Raja yang membelai rambutnya, bukan dia.

Nara rindu Rajanya. Nara rindu setiap waktu di hidupnya bersama Raja. Mungkin, bila kisah hidupnya dituliskan, akan menghasilkan begitu banyak halaman. Akan menghasilkan ribuan kata yang tak terbayangkan.

NarayaWhere stories live. Discover now