Chap 15 (Ketika aku mulai lelah)

2.1K 132 4
                                    

"Tuhan, aku lelah. Bolehkah aku berhenti? Hanya untuk istirahat. Salahkah jika aku merasa lelah?" ~Naraya.
***
Nara menangis terduduk sendirian. Menangisi apa yang telah terjadi di hidupnya. Tangannya memeluk tubuhnya sendiri erat. Sakit di hatinya menyebar ke seluruh tubuhnya. Setiap rongga di dalam tubuhnya tercabik menjadi bagian yang sulit di hubungkan.

Jantungnya seakan berhenti berdetak. Hatinya seakan sudah tak berbentuk. Nadinya sudah tak berfungsi. Raganya hidup, tapi jiwanya tak hidup.

Dia meratap. Hidupnya hancur sudah. Rajanya sekarat. Rajanya tertidur lelap. Entah kapan akan terbangun. Dia tak akan bisa hidup tanpa Raja. Adik besarnya. Permatanya. Pemilik hatinya.

Ini semua salahnya. Salahnya membiarkan Adit benar benar melakukan ancamannya. Salahnya, membiarkan Raja pergi tengah malam tanpa memberitahunya. Salahnya, ketika ia memilih tidur lelap semalam.

Rintikan air dari langit tak membuat Nara beranjak dari duduknya. Biarlah dia begini, biarlah dia kedinginan. Seperti yang Raja rasakan tadi malam.

"Jangan ujan ujanan. Gabaik buat kesehatan."

Suara Vano membuat tangisan Nara terdiam. Nara menoleh dan mendapati Vano sedang berdiri memegang payung. Nara berdiri dan menatap Vano sedih. Membiarkan Vano merasakan kesedihan Nara.

Vano berjalan mendekat, lalu memayungi tubuh Nara. "Kan udah dibilang, jangan ujan ujanan. Gabaik buat kesehatan."

Nara menggeleng, lalu memeluk tubuh Vano erat. Ia menangis. Tapi tangisannya teredam. Vano mengelus rambut basah Nara pelan. Sebelah tangannya tetap memegang payung.

"Cupcup. Udah, gabakal ada apa apa" tenang Vano.

Vano mengucapkan kalimat yang sama berulang kali. Dia tau bahwa Nara ikut hancur melihat Raja. Dia tau bagaimana perasaan Nara saat ini. Dia tau betul. Bukannya Vano sok tau atau apapun. Tapi, pada kenyataannya, memang Vano mengetahui bagaimana rasanya di posisi Nara. Vano pernah merasakannya.

Bagaimana rasanya melihat orang tercinta terluka di depan matanya. Bagaimana rasanya melihat pahlawannya menahan sakit didepannya. Bagaimana rasanya melihat orang yang paling berarti di hidupnya tak sadarkan diri dihadapannya. Vano tau rasanya. Vano pernah merasakannya.

"Capek." kata Nara pelan. Hanya satu kata. Satu kata yang menggambarkan dirinya sekarang: Lelah. Dia hanya merasakan itu saat ini. Membuat Vano merasa khawatir. Vano membayangkan segala hal buruk di otaknya.

Bahkan, hujan pun seolah tak mau kalah melampiaskan kesedihannya. Air mata Nara menetes berbarengan dengan air hujan yang turun semakin deras. Air hujan yang menetes membuat Nara menahan sakitnya pelan. Air yang mengenainya serasa seperti ribuan jarum yang menusuknya.

Nara mengeratkan pelukannya. Membiarkan dada Vano sesak karenanya. Agar Vano bisa merasakan sesak yang sama seperti dirasakannya. Biarkan dia egois. Dia hanya ingin mencari pelampiasan. Itu saja.

"Secapek apapun lo. Jangan lupa kalo lo masih punya gue buat jadi tempat istirahat. Jangan lupa kalo lo masih punya gue, sebagai tempat pelampiasan. Lampiaskan semuanya ke gue Ra. Gapapa, kalo itu bisa buat lo menjadi lebih baik."
***
Nara memasuki kamar rawat Raja. Membukanya pelan. Berharap ketika pintu terbuka sepenuhnya, Raja tengah tersenyum menyambutnya. Dengan kondisi yang normal. Tanpa luka sedikitpun.

5 detik Nara termenung. Merasa bodoh akan dirinya sendiri. Melihat Raja yang masih setia tertidur lelap di ranjang yang Nara yakin pernah menjadi tempat tertidurnya seseorang untuk selamanya. Tempat orang lain meregang nyawa.

Nara mendekat, membuat lantai kamar basah akibat tetesan air dari bajunya. Bekas alas kaki menghiasi keramik putih diatasnya. Merasa masa bodoh, Nara tetap melangkah mendekat ke arah Raja. Berhenti dan membuat jarak 3 langkah dari tempat Raja tertidur.

Memperhatikan Raja baik baik. Wajah tampan yang kini pucat. Entah mengapa terlihat begitu damai di mata Nara. Ingin rasanya Nara memeluk Raja. Tapi ia urungkan, begitu mengingat dirinya dalam kondisi basah. Dia tak mau membuat Raja kedinginan.

Sebuah handuk tersampir di bahunya tiba tiba. Membuat Nara menoleh.

"Ganti baju Ra, ntar masuk angin." ucap Mama yang baru keluar dari kamar mandi. Penampilannya sudah lebih rapi dari tadi pertama datang. Baju tidurnya sudah diganti dengan kaos katun yang cukup panjang. Menutupi tiga perempat lengannya. Celemek yang tadi masih tersampir di tubuhnya juga sudah tak ada.

Nara melihat Raja kembali. "Belom bangun bangun juga ma?" tanya Nara.

"Belum. Kata dokter, dia mengalami pendarahan di otak. Akibat benturan yang terlalu keras. Itu yang ngebuat Raja belum bangun." jelas Mama.

"Kalo Nara siram Raja pake air, bangun nggak ya, Ma?"

Teringat ketika Nara mencipratkan air ke wajah Raja dulu ketika Raja susah dibangunkan dari tidurnya. Membuat Nara berpikir, jika Raja saat ini Ia siram air akan terbangun seperti dulu Nara menyiramnya.

Mama tersenyum, lalu duduk.

"Kalo bisa, Mama pasti udah dari tadi nyiram dia pake air Ra. Tapi nyatanya, Raja lebih memilih buat tidur lagi. Dia mungkin capek. Pengen istirahat sebentar."

Nara tersenyum masam. "Raja curang. Nara aja yang udah capek banget nggak istirahat kek Raja. Nara nggak tidur nyenyak. Bahkan gabisa tidur gara gara kecapekan. Tapi kenapa Raja tidur dengan lelap? Nara tau, Raja kebo. Susah dibangunin. Tapi ya, jangan lama lama tidurnya. Raja tuh udah tidur dari kemarin malem. Dan ini juga udah mau malem lagi. Masa belom bangun bangun juga?"

Mama menangis diam mendengar perkataan Nara. Tau bahwa apa yang dilakukan Nara tak akan membuahkan apa apa. "Udah Ra, udah."

Nara menggeleng, "Enggak. Raja harus bangun. Emang nggak laper? Kamu hampir seharian tidur gak laper? Bangun dong sebentar. Buat makan. Tuh perut harus diisi. Gabakal jelek juga kalo buncit. Emang mau, kamu makan pake selang yang dimasukin lewat mulut atau kerongkongan kamu? Emang kenyang kalo cuma makan nutrisi cair? Kalo aku sih enggak. Makan tuh pake nasi Raja. Bukan pake air yang cuma isi nutrisi. Mana nampol. Bangun dong. Ayo kita makan nasi goreng buatan Ibu. Daffa, Dytha sama Vano udah nungguin kamu daritadi. Kamu tuh ya. Gatau diri banget."

Nara menangis. Lagi. Melihat reaksi Raja yang sama: Tetap tertidur dengan nyamannya. Seolah alam bawah sadarnya tengah dalam keadaan senyaman dan senyenyak nyenyaknya.

Tanpa Nara sadari. Mama sudah menangis tersedu melihatnya. Bahkan Daffa, Dytha dan Vano yang sedari tadi ikut masuk terdiam melihatnya. Melihat betapa hancurnya Nara.

Nara berkacak pinggangnya. Lalu mengusap wajahnya kasar. "Aih. Tau ah! Capek! Pengen istirahat juga kayak Raja!" lalu pergi memasuki kamar mandi dan menutup pintunya kasar.

Terdengar tangisan dari dalam. Membuat keempat orang yang sedari tadi mendengar apa yang dikatakan Nara semakin merasa sedih.

Mama terduduk di sofa sambil menggigit jarinya. Layaknya seorang gadis yang patah hati karena pujaannya.

Dytha bahkan ikutan menangis sekarang. Padahal, semenjak pagi, di dalam hatinya sendiri, dia sudah berjanji. Dia tak akan menangis ketika melihat Nara. Tapi tangisan yang telah ia tahan mati matian keluar juga. Membuat Daffa merangkul erat bahunya.

Vano terdiam. Tatapannya tertuju pada Raja yang masih tetap tertidur lelap. Telingannya mendengar setiap isakan yang keluar dari tiga perempuan yang berada diruangan ini. Entah apa yang membuat mereka menangis sedih tersedu sedu. Efek yang ditimbulkan Raja sungguh besar bagi tiga perempuan di ruangan ini. Membuat Vano ikutan melankolis disini. Dirinya ikut sedih mendengar setiap isakan yang keluar. Hatinya ikut tercabik. Entah kenapa, mengetahui bahwa kondisi Nara hancur, membuat Vano dengan perlahan ikutan hancur. Nara tak seharusnya mendapatkan ini.

"Hey Bro. Bangun. Hati gue sakit ngeliat Nara hancur. Lo nggak kasian sama gue? Tolonglah, jangan bikin hati gue yang lagi jatuh ini, malah jadi patah."
***

To Be Continued.





NarayaWhere stories live. Discover now