Chap seven (Rumah di Surga)

2.9K 154 1
                                    

Ini hidupku. Aku yang menjalaninya. Bukan kamu. Urusilah hidupmu. Belum tentu hidupmu mudah untuk di jalani. ~Naraya

***
"Bagus ya pemandangannya.. Kerlap kerlip lampu kota dari sini kek bintang yang bertaburan. Cuman bedanya ini di atas tanah. Bukan di langit." Nara tersenyum melihat pemandangan yang berada di depannya. View yang sangat indah.

Raja mengangguk, lalu ikut tersenyum melihat pemandangan di hadapannya. "Kita serasa berada di atas bintang ya. Lebih tinggi dari pada bintang. Tinggi banget." ucap Raja tanpa mengalihkan pandangannya.

Mereka saat ini berada di atas bukit. Mereka sengaja mampir karena tak mau bosan menunggu jika terjebak kemacetan. Taulah, puncak bagaimana keadaannya. Ramai dan padat. Apalagi ini adalah hari jum'at. Pasti banyak yang pergi ke puncak untuk menghabiskan weekend esok.

Nara yang kedinginan merapatkan badannya pada Raja. Wajarlah, ini kan daerah puncak. "Huufft, pengen deh jadi bintang." ucap Nara sambil melihat kerlap kerlip kota dari kejauhan. Seperti bintang!

"Kenapa?"

"Ya pengen aja. Aku pengen kaya bintang yang selalu bersinar. Walaupun dari kejauhan keliatannya hanya setitik cahaya, tapi seenggaknya sinar yang keliatannya hanya setitik itu, adalah sinar yang berasal darinya sendiri. Bukan dari pantulan atau pancaran dari cahaya lain." jelas Nara sambil memandang luas apa yang ada di depannya.

Raja mengernyit heran dengan perkataan Nara, "Terus?" tanya Raja.

Nara menoleh, "Terus apanya?"

"Apa hubungannya sama kamu?"

"Hffft, aku pengen kek dia Raja. Bisa memancarkan cahaya dari dalam diri sendiri. Cahaya yang sesungguhnya. Bukan cahaya palsu yang berusaha kita keluarkan. Cahaya yang sesungguhnya."

"Emang kamu nggak bersinar?" tanya Raja yang masih bingung dengan ucapan Nara.

"Apa ini yang namanya bersinar? Kamu pasti tau kan Ja, ini tidak pernah benar benar terjadi. Sinar itu tak pernah benar benar keluar. Ini serasa cahaya bulan yang terang tapi bukan dari dalam dirinya. Cahaya itu serasa masih tersimpan entah dimana." ucap Nara menerawang. Memandang langit yang sepi. Tak ada bulan maupun bintang.

Raja yang perlahan sudah mulai mengerti lalu mendekap tubuh Nara. "Sinar nggak harus selalu bersinar Nara." ucap Raja menenangkan.

"Kapan sinar itu muncul? Bersinar menyelimuti diriku."

"Sometimes..."
***

"Darimana saja kalian? Jam segini baru pulang." suara mama membuat Raja dan Nara berhenti di tengah ruang tamu. Terlihat mamanya sedang berdiri dengan menggenggam cangkir yang masih terlihat panas.

"Jalan jalan lah." Ekspresi Nara berubah datar. Begitupun Raja yang sedang merangkul Nara.

Mama terlihat marah, "Darimana kalian! Kalian tau jam berapa sekarang ha? 1 pagi! Apakah kalian tak pernah mengingat rumah?!" bentak mama terlihat sangat marah.

Raja masih terdiam. Nara lalu melepaskan rangkulan Raja dan melangkah maju didepan mamanya. "Terserah kita mau pergi kemana. Apa harus aku izin kepadamu huh? Apa pedulimu? Ku kira, kau tak pernah ingat bahwa kau sudah mempunyai anak."

Tiba tiba mama yang terlihat marah membanting cangkir yang dipegangnya. Sekarang terlihatlah sudah isi cangkir itu. Cokelat panas. "Jaga mulutmu Nara! Aku ibumu!"

Nara tersenyum sinis, "Yakin? Kau, ibuku? Cih."

Mama yang mendengar perkataan Nara terduduk lemas. Lalu menjambak rambutnya sendiri. Raja yang sedari tadi diam melangkah dan berdiri di samping Nara. "Sudahlah, anda tidak perlu sedih nyonya. Toh memang kita bukan siapa siapa. Ini bukan rumah kami. Rumah adalah tempat dimana kita tinggal dan hidup baahagia bersama keluarga. Anda tau bukan? Bahwa keluarga terdiri dari Ayah, Ibu dan juga anak. Jadi, ini pastilah bukan rumah nyonya. Ini hanyalah tempat persinggahan. Tempat kosong. Jadi, jangan lah bersedih karena perkataan Nara. Toh anda bukanlah siapa siapa bagi kami." ucap Raja. Lalu merangkul Nara kembali.

NarayaTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon