Menu 24: Pink River

46.6K 3.8K 46
                                    

Tama sangat bijak karena memutuskan untuk membawa Marissa pulang terlebih dulu dan membiarkan kami tinggal lebih lama. Dewa berdiri setidaknya lima meter dari nisan Ibunya dan hanya memandangi Marissa menyusun bunga dari kejauhan.

Tatapan mata Dewa biasanya selalu dingin atau terkesan tidak peduli. Tapi hari ini ada rasa sedih yang terpancar jelas, tidak ada tatapan setajam elang seperti biasanya.

Karena ia menautkan tangannya dengan tanganku sangat erat, aku jadi tidak bisa maju sama sekali. Aku terus disampingnya sampai Marissa dan Tama selesai.

"Dewa?, yuk", ajakku menyentuh lengannya.

Matanya masih saja memandang nisan itu nanar, sepertinya ia tidak mendengar ucapanku sama sekali.

"Dewa..", panggilku khawatir.

Kepalanya sedikit tersentak, ia seperti baru saja sadar dari lamunannya. Awalnya ia terlihat bingung, tapi dengan cepat ia mengangguk kecil dan mulai melangkahkan kakinya.

Aku berjongkok terlebih dulu, butuh waktu cukup lama bagi Dewa untuk mengikutiku, ia berjongkok dibelakangku, menyandarkan keningnya dipundakku dan melingkarkan salah satu tangannya didepan leherku.

"Aku, Maia..", ucapanku terhenti karena bingung harus mengucapkan apalagi.

"Go on", suara Dewa lebih rendah dari bisikan.

Kutarik napasku dalam-dalam, "Tunangannya Dewa, dia sehat, masih bisa marah-marah...Manja"

Dapat kudengar Dewa mendengus pelan, mungkin ia tertawa kecil, aku juga tidak tahu.

"Aku bakal jaga Dewa baik-baik, aku kerja direstorannya, terbaik di kota aku, setiap hari ramai", kuraih tangan Dewa dan menggenggamnya erat.

"Dewa?"

Ia mengangkat kepalanya dan terus memandangin nisan itu dari atas pundakku. Dewa menghela napas cukup dalam sebelum akhirnya membuka suara.

"Mungkin dua bulan lagi aku nikah, aku cinta Maia, dia bisa jaga aku, imbangin semua ego aku. Dewa harap Mama bisa dateng nanti", suaranya makin mengecil entah kenapa.

Kicauan burung gereja membuat suasana makin hening. Aku tidak tahu berapa lama kami seperti itu tanpa ada sepatah katapun yang terucap.

Aku hanya ingin membantu Dewa melawati ini semampuku.

**********************
Besoknya kami semua berangkat pagi-pagi buta. Tama menawarkan diri untuk menyupir mobil dan Marissa berkeras untuk duduk dikursi depan disamping ayahnya.

Keadaan Dewa cukup membaik, ia sempat demam tadi malam. Tapi itu hanya sebentar, setelah minum obat dan kukompres sedikit, panasnya langsung turun.

"Sayang, susu kedelai mana?"

Dia terus memanggilku begitu sejak kami pulang dari pemakaman kemarin. Padahal ia sendiri yang bilang kalau hal semacam itu tidak penting.

"Sebentar", aku membuka plastik berisi snack lalu mengambil sekotak susu kedelai.

Suara kemerosok keras yang kutimbulkan membuat Marissa penasaran. Ia melongok lewat samping kursi lalu tersenyum lebar pada kami.

"Uncle masih sakit?", tanyanya penasaran.

"Nggak", jawab Dewa cepat.

Rambut keriting Marissa bergoyang lucu saat ia menganggukkan kepalanya berulang kali. Mungkin ini pertama kalinya ia melakukan perjalanan jauh menggunakan mobil.

"Kita sorean aja ya kerumah akunya", ucapku asal.

"Tapi kamu kerumah aku dulu kan?", tanyanya tanpa ekspresi.

Sweet BlackoutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang