Menu 17 - Confident Competition

45.5K 3.9K 52
                                    

"Dewa"

"Hmm"

"Dewa"

Kali ini ia mulai mengalihkan perhatiannya dari buku yang sedang ia baca.

"Hmm?", gumamnya tidak sabar.

"Dewa"

"Apa sih?!", ia berteriak kesal.

Langsung aku tertawa terbahak-bahak karena reaksinya. Aku hanya bosan diam dirumah, padahal waktu awal-awal bekerja aku selalu menantikan saat-saat off seperti ini. Tapi sekarang rasanya aku rindu memasak didapur Gold Feather.

"Main yuk", ujarku bosan.

Kami berdua sedang duduk di kursi halaman belakang rumahku. Aku baru saja selesai membaca Cassandra Compact dan sudah mulai bosan sekarang.

"Kemana?", tanyanya acuh, matanya kembali terpaku pada buku yang sedang ia baca.

"Gatau", ujarku sambil menguap.

"Ngantuk?", ia mencium tanganku tanpa mengalihkan matanya dari lembaran-lembaran itu.

"Kira-kira aku lolos seleksi nggak ya?", tanyaku khawatir.

Mata kelamnya melirikku lalu dengan gerakan cepat ia menutup bukunya dan memukul kepalaku pelan menggunakan itu.

"To be honest, dessert yang kamu buat sesuai tema, aku bakal kaget kalau kamu nggak lolos", jelasnya dengan nada monoton.

"Sesuai tema?", tanyaku polos.

"Iya, very futuristic", jawabnya lagi.

"Changing color cake, kedengarannya impossible kan?, aku suka sama hasilnya, punggung aku sampe berasa keram waktu lagi hias frostingnya", keluhku padanya.

"But it's worth-it, white cake yang kamu buat juga bagus, ide kamu buat nambahin buttermilk sama whole milk sekaligus bikin cakenya fluffy tapi moist", ujarnya mendekap pundakku.

"Aku belum cerita tentang resepnyaa!", ucapku setengah berteriak, ia selalu tahu semuanya.

"Kamu ngeraguin lidah aku?", seringainya.

Wajahku langsung merona, tentu saja aku tidak meragukan kemampuannya sama sekali, termasuk 'lidah' berbakatnya dalam konteks ini. Tunggu, kenapa aku mengatakan lidahnya berbakat barusan?

"Nggak tau yaa?", jawabku asal.

Dewa terkekeh pelan, ia menarik pundakku dan mendekatkan wajahnya ke wajahku.

"Mau cari tau?", godanya sambil tersenyum tipis.

"Well.."

Matanya seperti menghipnotisku, lidahku seperti kelu, mataku terpaku pada matanya. Ini bukan pertama kalinya kami seintim ini, tapi rasanya tetap semenakjubkan sebelumnya.

Ia seperti punya sihir untuk membuatku hanyut dalam tatapannya dan menyerah begitu saja dalam pesona kuatnya.

Sebelum aku sadar bibir kami sudah bertemu. Kupegang kerah kemejanya kuat-kuat-aku hanya merasa perlu untuk memegang sesuatu.

Tangan kekarnya meraih rambutku dan lidahnya sudah mulai menelusup kedalam mulutku. Beberapa kali lidah kami bersentuhan dan ia menjilat bibirku dengan gerakan yang amat lambat.

Ia selalu menyentuhku seperti aku adalah pajangan kristal yang rapuh. Tangannya selalu membelai rambutku lembut dan ia tidak pernah tergesa-gesa.

Tidak jarang ia melepas ciumannya hanya untuk memelukku erat sembari menepuk-nepuk punggungku pelan.

Hal itu membuatku merasa sangat ia jaga dengan hati-hati.

"Kitten", gumamku malu-malu.

"Apa?", tanyanya masih menciumi bibirku.

Sweet BlackoutWhere stories live. Discover now