Menu 12: Stitches

47.9K 4K 51
                                    

Angin serasa menggigiti pipiku, aku berani jamin sekarang pasti warnanya sudah merah karena kedinginan. Entah apa yang menggerakkanku untuk bersepeda saat masih jam setengah enam pagi.

Semalam hujan sangat lebat dan udara subuh jadi lebih dingin dari biasanya. Jalanan masih sepi dan sangat jarang kendaraan yang lewat, aku jadi bisa sedikit mengebut dan bersepeda dengan leluasa.

Rasanya hal ini jadi sebuah kebiasaan, aku selalu memakai jaket yang Dewa pinjamkan padaku. Mungkin akan kukembalikan jika Dewa bertanya dan memintanya sendiri.

Kudongakkan kepalaku menatap langit yang mulai terang, aku tahu hari ini akan mendung, matahari belum muncul sama sekali.

Perhatianku teralih karena ada setetes air yang tepat mengenai bola mataku. Rasanya dingin dan cukup membuatku kaget.

Tangan kananku mencengkeram setang sepeda dengan erat, sementara tangan kiriku mengusap kelopak mataku cepat, mencoba menghilangkan rasa mengganjal yang tidak nyaman.

Saat pandanganku mulai fokus, aku tidak sadar ada orang yang ingin menyebrang jalan dengan setengah berlari.

Jarak kami sudah sangat dekat, aku heran kenapa orang itu bisa dengan santai menyebrang tanpa mendengar sepedaku.

Aku makin panik karena aku jalanan turun dan aku cukup mengebut, karena saat berbelok tadi aku sangat yakin jalanan ini masih sepi. Mulutku terbuka tapi tidak ada suara yang keluar sama sekali.

Refleks kubelokkan dengan cepat sepedaku sambil mengerem, suara decitan yang dihasilkan membuatku kupingku berdengung.

Tidak bisa kuhindari tangan dan kakiku yang menggesek aspal jalan dan menabrak trotoar lumayan keras. Jantungku serasa mau copot aku tidak bisa mengontrol detakannya sama sekali.

Desiran angin terasa sangat perih saat melewati kulitku yang sekarang penuh dengan luka memar.

Kuraba daguku dengan tangan bergetar dan mendapati luka memar yang cukup parah disana. Rasanya sakit sekali saat aku berusaha menyentuhnya dengan jari-jariku, pasti akan meninggalkan bekas luka yang tidak menyenangkan.

Susah payah aku berusaha berdiri, takut-takut kalau aku menabrak orang tadi . Tapi sepertinya dengan kondisi jatuhku yang seperti ini lukaku akan jauh lebih parah.

"Aduh maaf tadi bapak nggak liat-liat dulu nyebrangnya", ujar pria itu menyentuh pundakku.

Mataku terbebelak, ia adalah pria tua yang mengobrol denganku didepan rumah Dewa waktu itu. Matanya merah dan napasya bau alkohol, kutebak ia pasti sedang mabuk.

"Bapak gapapa?", Tanyaku khawatir.

"Good as new", pria tua itu terkekeh.

Jelas ia mabuk berat, jalannya sempoyongan dan ia hampir terjatuh tanpa sebab. Aku heran apa dengan kondisi seperti itu ia bisa pulang kerumah.

"Bapak rumahnya dimana?, nanti saya antar sama teman saya", sejujurku aku tidak tahu kenapa aku menawarkan kebaikan seperti itu.

"Jauh rumah bapak jauh", jawabnya setengah mengigau.

Kukeluarkan handphone dari kantung celana jeansku dan langsung menelepon ines, rumahnya tidak jauh dari sini, ia pasti mau menolongku. Aku sedikit meringis saat tidak sengaja menyentuh daguku sendiri.

"Nes, bisa jemput aku dijalan deket rumah kamu nggak?, urgent banget nih"

******************************

Matahari masih belum muncul, padahal sekarang sudah jam delapan lebih dan itu artinya aku sudah pasti telat masuk kerja dan semua luka memarku belum ada satupun yang diobati.

Sweet BlackoutTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon