Menu 5 : Coinsidence

62.8K 5.3K 174
                                    

"Hey are you still listening?"

Suara baritone Dewa menyadarkan lamunanku, mukanya berubah makin masam saat tahu aku tidak mendengarkannya sedari dari. Dewa menenggak habis kopinya dan langsung berdiri untuk meninggalkan kantin rumah sakit.

"Maaf, kemaren aku begadang jagain papi, aku agak ngantuk", aku tidak sepenuhnya berbohong tadi malam aku begadang, karena membaca novel diruangan papi.

"Get some rest then", Jawab Dewa dengan nada mengejek.

Tanpa menunggu jawabanku Dewa langsung pergi keluar kantin, langkah beratnya masih terdengar sampai ia berbelok menuju tempat parkir. Aku hanya duduk termangu melihat ia pergi. Harusnya malam ini kami pergi ke Gold Feather untuk mempelajari hal-hal dasar, tapi aku menolak karena terlalu lelah. Aku cukup kaget saat Dewa mengiyakan permintaanku agar ia memberitahukan hal penting untuk dicatat sambil minum kopi dikantin.

Kupandangi buku catatanku yang masih kosong setengahnya, mestinya aku tidak melamun tadi, mood dewa yang sudah sedikit bagus jadi berubah buruk lagi. Sedikit putus asa aku pergi meninggalkan kantin, aku harap aku bisa pulang malam ini, terakhir kali aku tidur dikasurku sekitar tiga hari yang lalu, punggungku sering terasa sakit karena harus tidur disofa ruangan papi.

"Mi, hari ini aku pulang ya?", pintaku pada mami.

"Kenapa baru bilang, kalo daritadi kan Mami bisa minta om awan untuk anter kamu pulang", Jawab mami sedikit mengeluh.

"Duh aku bisa panggil taksi mi", jawabku duduk disofa.

"Yaudah minta anter Dewa aja, dia pasti mau", usul papi dengan semangat.

"Udah pulang daritadi papi orangnya, bete ah bosen liat muka dia terus, senyum aja nggak", aku mengepalkan tanganku saat mengucapkan itu.

"Have you smiled at him?", tanya papi balik.

"Eh?"

"Kami ngeluh dia nggak pernah senyum, kamu sendiri pernah senyum sama dia nggak?"

Pertanyaan papi seakan menggantung diudara, tidak langsung kujawab dan tidak tahu harus menjawab apa. Seingatku aku memang belum pernah tersenyum pada Dewa, seringaian bukan termasuk senyuman kan?.

Lamunanku buyar saat pintu kamar dibuka, rambut spike Dewa menyembul dari balik pintu dan mengejutkanku sedikit. Mami memandangi Dewa bingung sementara Papi hanya tersenyum lebar kepadaku. Speak of the devil.

"Ada kunci mobil saya nggak ya?", Tanya Dewa mengangguk sopan.

"Ketinggalan?, biar mami cari dulu.."

"Iya terimakasih bu"

"Panggil aja mami, jangan ibu terus, ini maia aja kan panggilnya mami bukan ibu", ucap papi tiba-tiba.

"Ih, papi apaan sih", kupukul pelan lengan papi dengan kesal.

"Iya pi, terimakasih sudah dingatkan", Jawab dewa tanpa ragu.

Kuangkat satu alisku pada Dewa, mencoba bertanya dalam diam apa maksud persetujuannya tadi. Sementara papi sudah tertawa keras tepat didepan mukaku. Sungguh kurasa tidak bijak untuk membiarkan papiku mengatur sebuah perjodohan, ia bisa terlihat amat konyol.

Mami masih mencari disekitar meja dan bergumam pelan saat menemukan kunci mobil dewa yang terjatuh dikolong meja. Untuk sesaat raut muka Dewa berubah melembut, ia tersenyum tipis pada mami dan menerima kunci itu dengan anggukan kecil.

"Mami bisa minta tolong?", Mami memegang tangan dewa yang membuat ia sedikit terkejut.

"Boleh", jawabnya singkat.

Sweet BlackoutDär berättelser lever. Upptäck nu