Menu 20 - Konfesi 2

46.1K 4K 108
                                    


Kutatap dengan nanar pintu lokerku, beberapa hari ini aku menghindar dari Dewa. Tentu saja penyebabnya karena percakapan antara aku dan Rosie setelah kompetisi kemarin.

Sudah hampir seminggu aku melarang Dewa untuk menjemput atau mengantarku pulang. Dan entah kenapa Dewa tidak menolak sama sekali. Aku hanya ingin menghindar darinya sebisa mungkin, aku masih bingung. Disatu sisi aku sangat ingin bersikap dewasa, namun disisi lain aku benci dengan fakta-fakta yang Rosie ungkapkan kemarin.

Terutama tentang prinsip Dewa.

Ia tidak pernah membalas ucapan sayangku, aku jadi mulai ragu. Maksudku memangnya aku siapa?, pengalamanku dibidang asmara tidak mumpuni, umurku masih muda. Berbeda jauh dengan Dewa, ia laki-laki dewasa berusia 33 tahun. Jauh dari levelku. Orang-orang dewasa selalu punya tipu daya yang aneh, harusnya aku tahu itu.

Kuikat tali sepatuku secepat mungkin karena aku harus bergegas pulang agar tidak bertemu Dewa ditengah jalan, meskipun sebenarnya ia selalu pulang telat akhir-akhir ini atau pulang cepat dan pergi entah kemana. Aku tahu ia sudah mulai curiga.

Kaki pendekku terseok-seok karena berlari kecil tapi tetap berusaha untuk tidak menimbulkan kegaduhan yang berarti.

Hatiku terasa lega ketika sudah sampai keparkiran Gold Feather. Hanya satu langkah lagi aku bisa benar-benar keluar area restoran dengan aman.

"Maia!!"

Teriakan Alfi yang cukup kencang membuatku menoleh, apa ia ingin menawarkan tumpangan pulang?.

"Kenapa?", tanyaku lantang.

"Chef nunggu kamu diruangannya!, sekarang ya!", kentara sekali Alfi tersenyum mengejek.

Senyum diwajahku seketika hilang. Tentu Dewa bisa memanggilku kapan saja, ia bos disini, ia punya wewenang untuk mengaturku sesukanya.

Kuhentakkan kakiku tidak suka dan memandang Alfi tajam, aku tahu ini bukan salahnya, besok aku akan memakai sepatu tanpa tali agar tidak membuang waktu dengan percuma.

Kugesekkan telapak tanganku itu pada tembok yang bertekstur, aku sedikit malas bertemu dengan Dewa sekarang. Oke bukan sedikit, aku masih belum sudi bertemu dengannya sama sekali.

Hanya sepasang mata kelam yang memandangi lekat-lekat saat aku masuk ke ruangan Dewa. Kutundukkan kepalaku dalam-dalam dan malah diam berdiri mematung.

"Kamu sakit?", Dewa mulai beranjak dari kursinya.

Tangannya menyentuh keningku dengan wajah khawatir. Aku sakit hati seperti ini dan ia pikir aku hanya sakit panas?.

"Aku gapapa..", jawabku pelan.

Dewa langsung melipatkan tangannya didepan dada. Ia mengelus dagunya tidak sabar dan kembali menghujamkan tatapannya padaku.

"Terus?", tanyanya dingin.

Kuusap kedua lenganku canggung, jika ia ingin aku jujur oke aku akan jujur. Apapun resikonya nanti.

"Bener Rosie mantan kamu?", tanyaku sembari menatap matanya lurus.

Kening Dewa langsung berkerut, mulutnya masih terkatup rapat. Ia seakan tidak mengerti dengan apa yang baru saja kutanyakan barusan.

"Aku denger kalian sering liburan bareng dulu", tambahku dingin.

Aku tidak tahu darimana munculnya keberanian ini, tapi yang jelas aku tidak merasakan rasa takut barang sepicingpun, arus adrenalin mengalir tanpa filter menuju otakku.

"Kamu ngobrol sama dia waktu kompetisi kemarin?"

Hanya itu yang ia tanyakan?, ia tidka membantah ataupun mengklarifikasi sesuatu. Mungkin aku memang berharap terlalu banyak.

Sweet BlackoutWhere stories live. Discover now