Menu 3: Blackout

61.5K 5.4K 97
                                    

Kami semua masih menunggu didepan ruang unit gawat darurat. Dino sudah tertidur dipangkuan mami. Jelas aku masih merasa bersalah, papi sepertinya keluar naik motor vespanya setelah berdebat denganku tadi. Mataku sudah bengkak, aku tidak tahu sudah berapa lama aku menangis, dan rasanya tidak akan berhenti dalam waktu dekat juga.

"Keluarga pak Hari?" Seorang suster bertanya didepan pintu unit gawat darurat.

"Saya istrinya." Mami langsung berdiri dan menyerahkan Dino padaku.

"Ada yang dokter mau sampaikan, mari ikut saya."

Mami masuk kedalam ruang UGD bersama suster itu. Kupeluk Dino erat-erat, tentu ia sama cemasnya denganku sekarang. Ia masih sedikit terisak didalam tidurnya. Jika terjadi sesuatu pada papi aku tidak akan bisa memaafkan diriku sampai kapanpun, Dino masih kecil bagaimana jika kami harus kehilangan Papi? Apa yang bisa kulakukan? Sampai satu jam yang lalu aku tidak bisa berbuat apapun yang menyenangkan.

Mami kembali dari ruang UGD, ekspresinya tidak bisa ditebak, yang pasti mami tidak terlihat lebih baik dari sebelumnya. Kupegang tangannya dengan lembut, aku tahu ada hal yang ingin Mami sampaikan tapi ia ragu, kutatap Mami terus sampai akhirnya ia tidak nyaman.

"Kondisi Papi kritis, dua tulang rusuknya patah dan ada pendarahan diotak." Ujar Mami menahan tangis.

Aku sudah tidak bisa berkata-kata lagi. Jika tidak ada Dino mungkin aku sudah memukul kepalaku sendiri daritadi, otakku seperti berhenti berkerja. Mami sudah mulai menangis itu menyebabkan Dino terbangun dan langsung pindah kepangkuan Mami.

"Mami mau kabarin keluarga yang lain dulu, kamu kalo kamu mau tengokin Papi sana cepet mumpung boleh." Suruh Mami dengan suara parau.

"Dino mau ikut ya mi." Ia langsung menggandeng tanganku.

"Boleh tapi jangan ribut ya."

Kugandeng tangan Dino erat, kutawarkan dia untuk kugendong tapi ia menolak. Bau antiseptik menyerbu penciumanku, sejak dulu aku tidak suka bau rumah sakit, selalu beresonansi dengan kenangan buruk sepanjang yang kuingat, terakhir kali aku masuk rumah sakit karena tanganku patah saat aku terjatuh dari atas mobil bak.

Kubuka pintunya perlahan dan langsung lemas saat melihat kondisi Papi, aku tidak familier dengan alat-alat yang tersambung dengan tubuh Papi tapi itu terlihat mengerikan. Langsung kutarik kursi plastik dan duduk disana, Dino langsung terisak disamping kasur Papi

"Maafin Maia Pi.." Bisikku amat pelan.

Papi masih tetap diam, rasanya aneh melihat papi tidak bergerak sedikit pun, ia selalu bisa menjawab ucapanku. Untuk sesaat aku merasa panik, lupa ia sedang kritis. Kuelus tangan Papi pelan, Dino masih terisak disana, kutepuk punggungnya kecil untuk menenangkan Dino sedikit.

"Pi, papi bangun dong.." Ujar Dino disela tangisannya.

Tanpa kurasakan airmataku mulai menetes, kutundukkan kepalaku dalam-dalam berharap Dino tidak melihatku yang sedang menangis. Perhatianku teralih saat Dino merogoh kantong sweaternya.

"Pi, Dino udah beliin cd album genesis yang papi mau, rencananya buat ulang tahun Papi bulan depan, makanya Papi harus sembuh ya."

Dino tidak bisa menyelesaikan kata-katanya, kupeluk punggungnya dari belakang. Hanya karena keegoisanku Papi jadi begini, Dino masih butuh Papi begitu juga Mami, tak ada lagi ada yang bisa aku katakan.

"Maia, dino sama mami, sayang sama Papi.."

******************************

Sudah tiga hari berlalu semenjak kecelakaan Papi, keadaannya membaik tapi Papi masih belum sadar. Operasinya sukses, hanya itu yang bisa kutangkap dari omongan dokter yang menangani Papi. Aku sedikit jalan-jalan ke taman disekitar rumah sakit karena disekitar ruangan Papi sudah banyak saudaraku yang membesuk.

Sweet BlackoutWhere stories live. Discover now