Menu 9: Titik Koma

65.6K 4.8K 101
                                    

Tanganku menggenggam dua butir pil obat flu dan batuk dengan merk berbeda. Kubuka dengan kasar masker yang kupakai dan langsung menenggak obat itu dengan air.

Jelas aku ketularan Dewa, kondisiku yang kelelahan akhir-akhir ini membuat sistem imunnya menjadi lemah.

Seperti sekarang, mataku terasa berat, tapi aku menolak untuk tidur. Meskipun operasi papi sudah dinyatakan berhasil dan lancar, entah kenapa aku belum bisa tenang juga. Aku penasaran dengan hasil resep untuk uncle Tony.

Dewa sangat sulit dihubungi sejak kemarin, aku tahu ia sibuk-seperti biasanya. Sekarang sudah jam sepuluh malam dan Dewa belum menampakkan batang hidungnya.

Kukenakan kembali maskerku dan memutuskan untuk duduk diteras belakang ruangan Papi. Disana ada semacam tempat duduk yang terbuat dari semen dan batu bata.

Kurapatkan jaket jeans yang Dewa berikan padaku malam itu, mungkin aku terlihat bodoh memakai jaket kebesaran seperti ini, tapi aku merasa sangat nyaman dan itu cukup membuatku tidak memperdulikan apa yang orang pikirkan tentang penampilanku.

Bersinku sudah mereda, tapi batuknya amat mengganggu. Itu kenapa aku minum dua merk obat, aku butuh sesuatu untuk meredam rasa gatal yang menyiksa tenggorokanku.

Handphoneku sudah mati sejak tadi, jadi aku lebih banyak bermalas-malas memandang langit. Tidak banyak hal yang bisa dilihat, langit hitam dengan cahaya bulan temaram yang kadang tertelan awan. Aku tidak pernah menyukai langit malam, oke aku suka bintang, nebula, dan semacamnya. Tapi tidak ada yang mengalahkan langit biru cerah dengan awan lembut bertebaran dan angin yang membelai rambut malu-malu.

Rambutku sangat panjang- hampir menyentuh pantat, itu karena dulu Papi pusing dengan perilakuku yang sering memanjat pohon dan naik ke atas genting. Papi amat tahu aku suka memandang langit. Ia menjanjikanku untuk membuat kaca tembus pandang tepat diatas kasur tingkat duaku, jika aku mau memanjangkan rambutku dan tidak memotongnya-saat itu rambutku selalu pendek, berharap aku bisa sedikit terlihat lebih feminin.

Sampai sekarang aku tidak pernah memotongnya, hanya merapihkan jika perlu.

Kupeluk kaki telanjangku dengan erat, aku menyesal hanya membawa hot pants sebagai baju salin, seharusnya aku membawa celana training tebal atau celana jeans panjang.

Bau parfum musk milik Dewa masih menguar dari jaketnya. Aku masih ingat secara detail kejadian kemarin lusa. Kadang aku tidak percaya bagaimana bisa aku berbagi kasur dengan dia. Harusnya aku tahu Dino ada dikamar lantai bawah dan ia bisa memergoki aku dan Dewa setiap saat. Jujur aku lepas kontrol.

"Kamu nyebelin banget sih Dewa", gumamku pada diri sendiri, menenggelamkan mukaku pada kakiku yang kupeluk.

"Really?"

Tiba-tiba suara baritone itu sudah ada dibelakangku. Aku langsung memutar badanku dan menemukan Dewa sudah berdiri disana, mengenakan kemeja lengan panjang dan celana jeans. Tangannya memegang satu buah apel.

"Kapan dateng?", tanyaku masih berusaha menyembunyikan kaget.

"Baru aja, kata Papi kamu sakit?", Dewa langsung duduk disebelahku.

"Iya, cuma pilek, makanya aku pake masker"

"Nanti juga sembuh"

"Iya, iya..", memangnya aku dapat flu dari siapa?

Dewa kembali diam, ia memainkan apel itu dikedua tangannya.

"Gimana?, uncle tony suka?", kuberanikan bertanya pada Dewa.

"Suka, dia bilang 'it's exquisite' sambil senyum lebar"

"Hahaha, uncle Tony banget", aku tertawa hanya dengan membayangkan wajah konyol uncle Tony.

Sweet BlackoutWhere stories live. Discover now