Menu 23: Kinder

45.1K 3.9K 47
                                    

Papi berteriak amat kencang ketika kutunjukkan cincin yang melingkari jari manisku. Teh yang sedang Mami minum sampai hampir tumpah karena gerakan tangan Papi.

Sementara Dewa hanya tersenyum tipis disampingku, tangannya belum lepas dari tanganku sejak tadi.

"Jadi?", tanya Papi bersemangat.

"Rencananya lusa saya mau bawa keluarga saya kesini, biar diskusinya lebih enak", jawab Dewa sopan.

Kening Papi sedikit berkerut, apa mungkin Papi sudah tahu latar belakang keluarga Dewa?.

"Oh iya boleh, lebih bagus malah, biar nanti mami siapin semuanya", balas Mami bersemangat.

"Nggak usah repot mi, saya nggak bawa banyak orang", Dewa tersenyum tipis.

"Yee, mau nikah kok nggak boleh repot, udah tenang aja", Mami bangkit dari kursinya dan menepuk pundak Dewa.

"Iya nanti kita undang banyak tamu ya mi!", tambah Papi riang.

Mata Dewa langsung membesar, kentara sekali ia tidak setuju dengan pernyataan Papi barusan. Ia memandangku dengan tatapan bingung lalu menyesap tehnya sebagai pengalih perhatian.

"Saya pikir undangannya lebih baik nggak lebih dari seratus orang pi", usul Dewa sopan.

Papi langsung menurunkan koran yang sedang ia baca, ia memandang Dewa dengan tatapan tidak percaya. Papi berdeham canggung sambil melipat koran itu.

"Nggak bisa dong, kan kolega Papi banyak, kamu juga partner bisnis banyak, ini anak perempuan pertama Papi lho", sergah Papi sedikit serius.

Dewa hampir-hampir ingin langsung menjawab, tapi kusikut pelan perutnya sebelum ia sempat membuka suara. Iris kelamnya menatapku tidak suka.

"Diobrolinnya nanti aja ya sekalian lusa", sengaja kunaikkan nada suaranya.

Segera kutarik lengan Dewa, jelas kami perlu bicara. Jika ia terus ada disini bisa-bisa Dewa dan Papi akan berdebat panjang. Jelas itu akan meninggalkan impresi yang buruk bagi kami semua.

Kuarahkan langkahku menuju halaman belakang, tanpa sengaja kakiku menendang keras mainan Dino. Ia langsung mendelik marah.

"Penganten baru marah-marah aja sih!!", serunya lantang.

Tanpa kuduga hal itu malah membuat Dewa menyeringai. Sementara aku langsung menyembunyikan mukaku yang merona merah.

Kucepatkan langkahku dan duduk dikursi teras halaman belakang, kutepuk kursi disebelahku agar Dewa segera duduk.

"Aku tau kamu nggak setuju, tapi kalo diomongin sekarang percuma, yang ada Papi tambah ngeyel", sebaiknya ia tidak meragukan ucapanku, aku sudah hidup bersama Papi lebih dari dua puluh tahun.

"Aku cuma nggak nyaman, aku maunya dikelilingin sama orang yang bener-bener aku kenal baik nanti", gumam Dewa sambil mengusap dagunya.

"Iya, entar aku coba ngomong sama Papi sayang..", aku tidak benar-benar sadar dengan ucapanku sampai Dewa melirikku dengan senyuman tipis.

"Tama mungkin lebih bisa nyampeinnya lebih baik", Dewa menarik tanganku lalu mengecupnya kecil.

"Lho, emang Mama kamu nggak ikut?, katanya kita mau tengok Mama kamu besok?", tanyaku bingung.

Bibir Dewa membeku diatas jari manisku, matanya memendarkan kegelisahan.

"Kita liat nanti", jawab Dewa singkat.

Melihat perubahan mood Dewa membuatku makin penasaran. Sudahlah, lagipula besok aku akan tahu.

"Mau makan nggak?, aku sama Mami bikin kari", tawarku

Sweet BlackoutWhere stories live. Discover now