Menu 23: Kinder

Mulai dari awal
                                    

"Suapin", jawabnya dingin.

Biasanya ucapan seperti itu akan terasa romantis. Tapi Dewa terlalu malas untuk bermanis-manis seperti itu, ia selalu mengucapkannya dengan nada yang biasa ia pakai di dapur Gold Feather saat ia menyuruhku melakukan sesuatu.

"Yes cheeff..", kucubit hidung Dewa kesal.

Seolah sadar, Dewa tertawa lalu mencium tanganku lembut sebelum aku benar-benar masuk kedalam dapur.

***************************
Lagi, Dewa hanya terdiam saat aku menyuapinya makan. Begitu sampai dirumah Tama, kami berdua langsung istirahat karena kecapekan. Harusnya Dewa mendengar saranku tadi untuk naik kereta atau kendaraan umum saja.

Seperti biasa kami berangkat subuh-subuh dan entah kenapa Dewa banyak sekali mengeluh, percaya atau tidak ia membiarkanku bergantian menyetir saat hari sudah pagi. Ia tidur pulas sekali, aku sangsi ia telah beristirahat sebelumnya.

Kalau bukan karena Tama mengetuk pintu kamar kami keras-keras untuk makan siang, aku yakin baik Dewa maupun aku pasti belum terbangun sekarang.

"Mau tambah?", tawarku sebelum menyuap sesendok terakhir.

"Nggak usah", jawab Dewa cepat.

Moodnya benar-benar buruk hari ini, aku tidak mengerti kenapa, padahal kan hari ini kami akan bertemu ibunya. Tapi ia tidak bersemangat sama sekali.

Kutaruh piring dan sendok kotor diwastafel. Tama belum juga pulang dari menjemput Marissa dirumah temannya, mungkin jika Marissa pulang nanti mood Dewa bisa sedikit membaik.

Sama seperti hari-hari sebelum ia melamarku, Dewa jadi sangat manja. Matanya jarang sekali lepas dariku, seakan-akan aku hendak pergi kemana saja.

"Maia"

Tuh, kan benar. Mencuci piring sebentar saja ia sudah memanggilku, aku penasaran apa alasannya kali ini.

"Kenapa?", tanyaku dari dapur.

Tidak ada jawaban, tentu saja, ia tidak akan menjawab kecuali aku yang sendiri yang mendekat dan bertanya langsung padanya.

"Kenapa?", ulangku selembut mungkin.

"Lama banget", responnya dingin.

"Sekalian aku cuci piringnya Dewa ya ampun..", kuhempaskan tubuhku disofa dan duduk disebelahnya.

Dewa tidak menjawab apa-apa lagi. Ia hanya mengganti channel tivi berulang kali dengan sangat cepat. Meskipun ia berusaha menyembunyikannya, aku tahu ia merasa gelisah.

Kutarik tangan Dewa lalu menautkan jari-jari kami erat. Ia melirikku lewat ujung matanya lalu menghela napas lelah, kini ia menyandarkan kepalanya di pangkuanku.

Tanpa diminta pun, aku hapal jika ia seperti ini ia menginginkan rambutnya dielus pelan. Hal ini jadi semacam kebiasaan setiap aku menginap dirumahnya atau kalau ia sekedar merasa capek.

"Im here you know, nothing to worried about..", ucapku lembut.

Ia membuka kelopak matanya, sekarang wajahnya sudah tidak setegang tadi meskipun masih ada guratan rasa resah yang kentara.

"Be patient a little more, i love you so much", Dewa menarik kepalaku dan mengangkat kepalanya sedikit agar kami dapat berciuman.

"I love you too, to the moon and back, to the moon and back", gumamku diatas bibirnya.

Senyuman Dewa adalah hal termanis yang aku lihat sepanjang hari ini. Ia kembali berbaring dan meletakkan kepalanya dipangkuanku, matanya terpejam menikmati belaian lembutku dirambut hitamnya.

Sweet BlackoutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang