Fall For You (7)

4.2K 378 3
                                    

Fall For You
.

.
.
.
HunHan

.

.

.

.

.

Pagi akhir pekan yang hangat. Pelik kehidupan seharusnya melega sebab ini hari bebas. Begitu pula dengan keluarga Oh. Istrinya yang terbangun sangat pagi, membuat sarapan dan teh hangat, serta pil vitamin yang dia taruh dengan rapi di atas permukaan nampan—seperti terpelajar boga—saat suaminya masih bergelung di balik selimut. Menyempatkan diri untuk mengecup pipi sang suami dengan hati-hati dan membangunkannya dengan suara yang lembut.

Malang sekali. Dia melakukan aktivitas yang seharusnya dilakukan oleh para istri. Istri; perempuan. Dirinya lelaki, dan sialnya Luhan yang mendapat gelar istri di sini.

Luhan tidak menyangka, entah bagaimana bisa pancaran cerah di wajah Sehun dapat muncul begitu saja dengan cepat. Luhan dapat mengamati bahwa Sehun sedang dalam masa bahagianya (dan Luhan tidak mengerti apa sebabnya), hingga Sehun sendiri sepertinya tidak sadar bahwa dirinya kini masih saja memeluk tubuh Luhan dari belakang saat mencuci piring bekas sarapannya. Luhan bersumpah, tidak akan menyangkal bahwa Sehun sangat manja pagi ini. Tidak seperti biasanya, sungguh. Sehun lelaki yang penuh rasa gengsi. Apa maunya memberi kehangatan seperti ini? Tidakkah dia tahu bahwa semuanya cukup menyiksa batin Luhan?

"Han, aku ingin seperti ini untuk lima belas menit saja. Bisakah?"

Luhan menahan napas mendengarnya. Apa Sehun sedang ingin morning sex? Bukankah tadi malam Sehun tidak melakukannya? Tidak, tidak. Luhan menyingkirkan pemikiran konyol itu. Sehun sedang labil saja. Hormonnya dalam masa naik-turun tak menentu. Dan mungkin, dirinya lah yang sepertinya menginginkanmorning sex. Bodoh. Dan pipinya memanas.

"Aku harus mengunjungi Coffea Café sekitar empat puluh menit lagi."

Sehun menahan decakannya. Secara tidak langsung, Luhan menolaknya. Lingkaran peluknya semakin erat dan kini bibir tipis lembutnya sudah mulai memberi kecupan ringan di ceruk kanan leher Luhan.

"Tidak jika kau berujung bertemu dengannya."

Luhan bergidik geli saat Sehun menggigit pelan lehernya. Dan bulu-bulu halusnya meremang saat Sehun sengaja menaikkan beberapa gigitan ke telinga kanannya. Mengulum dan memberikan hembusan napas dengan perlahan serta lembut. Luhan berharap Sehun dapat menghentikan perlakuan ini sekarang juga. Dia tidak nyaman, dan sangat tidak bernafsu untuk itu.

Oh, tapi itu dusta.

"Aku… tidak tahu jika dia di sana atau tidak."

Helaan napas lega terdengar tipis dari Luhan saat Sehun menghentikan gerilya kecil-kecilannya. Sehun kini memilihmenaruh dagu di bahu kanan Luhan. Luhan sendiri tidak tahu bahwa Sehun tengah memanyunkan bibirnya, mungkin kesal. "Kubilang saja ya, Hyungku akan ke sana setiap akhir pekan. Menyamai jadwalmu. Tidak bisakah kau peka sedikit?"

Sialan. Sehun tiba-tiba saja mengajaknya berbicara ke arah sana. Seharusnya Luhan yang menggantikan posisi Sehun untuk melontarkan pertanyaan yang memiliki sangkut-paut dengan kata 'peka'.

Itu menyakitkan, jika boleh Luhan sedikit jujur.

Luhan merasa sedikit sensitif untuk rasa peka. Sebab selama ini dia menunggu saat-saat di mana Sehun bisa peka terhadap perasaannya. Bukan memainkannya tanpa tahu jika ada sesuatu yang asing di hubungan mereka. Luhan tidak ingin mendapat tanggapan bahwa dirinya percaya diri berlebihan. Pasti saja. Oh, ya ampun, Tuhan Yang Maha Pengasih, ini sulit. Namun, jika tidak, Luhan yakin Sehun takkan melepaskan pelukan eratnya.

"Lalu… kau cemburu?"

Tuhanku. Luhan berharap nyawanya dicabut saat ini juga. Dia bertanya benar-benar bukan atas dasar terlalu percaya diri. Muncul dari mana rasa percaya dirinya jika dia mengerti bahwa Sehun sama sekali tidak mencintainya? Luhan hanya kurang nyaman dengan pelukan Sehun yang membuat organ dalamnya mendentum tak beraturan, seolah tengah berdisko di dalam sana. Semakin berdebar, akan semakin sakit pula hatinya. Dan Luhan masih ingin hidup lebih lama.

Mendadak pertanyaan Luhan membuat Sehun melonggarkan pelukannya. Dia lepaskan lingkaran tangannya dari pinggang Luhan dan menatap dingin wajah istrinya, kemudian beranjak pergi begitu saja. Secepat itu. Bahkan Luhan hanya sempat berkedip satu kali, jika tidak salah.

"Pergilah," katanya singkat sebelum naik ke lantai atas dan menghilang di balik pintu kamar mereka.

Itu saja? Astaga, reaksi yang sangat-sangat luar biasa.

Tentu. Mana mungkin Sehun cemburu padaku, sambil menertawakan kebodohannya yang terasa amat sakit.

Setelah Luhan mematikan pancuran air dari keran, dia menyusul Sehun ke dalam kamar. Kakinya melangkah ragu. Apakah Sehun marah karena pertanyaannya tadi? Sedang apa ia kini? Benak Luhan kacau tak menentu. Apa sebegitu besar pengaruhnya akan pertanyaan yang tidak sungguh-sungguh ia lontarkan dengan penuh rasa percaya diri? Sehun harusnya bersikap biasa saja! Atau mungkin… ia senang jika Luhan pergi dari apartemen untuk beberapa jam. Setidaknya, itu lebih baik dan wajar daripada Sehun yang tiba-tiba dingin untuk tersentuh, lalu menyuruhnya pergi dengan nada yang tidak jauh beda dinginnya.

Luhan menarik kenop, mendapati Sehun yang tengah terduduk di sofa kamar dengan jemari yang bekerja di atas layar ponselnya. Lelaki manis itu hanya berjalan ke lemari baju dan mengganti kaos rumahannya dengan kemeja hitam dan jins putih. Tangannya mengambil kunci mobil di meja nakas, sedikit rasa penasaran tentang apa yang dilakukan Sehun dengan ponselnya, namun dia coba untuk tidak terlalu peduli. Luhan melirik Sehun sekilas, padahal ia berusaha untuk tidak terlalu memusatkan perhatiannya pada suaminya itu, sebelum dirinya benar-benar melangkah ke luar kamar meninggalkan Sehun di apartemen sendirian.

"Jam berapa kau pulang?"

Langkahnya terhenti saat Sehun melayangkan pertanyaan dingin itu. Kakinya sedikit gemetar. Luhan agaknya tak tahu harus menjawab apa. Dia tidak dapat menentukan berapa lama waktunya untuk singgah di bar kopi miliknya.

"Secepatnya aku pulang." Akhirnya Luhan menjawab, dengan ide sebisa dan sesederhana mungkin. Yang Luhan pikir, Sehun pasti akan memahami dengan maklum jika Luhan masih menghargai statusnya sebagai istri agar tidak pulang larut.

"Shit." Terdengar begitu menusuk meski sangat pelan. Itu bertolak-belakang dengan pemikirannya, kemudian Luhan kembali tersadar bahwa Sehun yang baru saja mengeluarkan kata kotor itu. Sekali lagi jantungnya seolah berhenti berdetak mendengar umpatan Sehun. Meskipun satu kata, bukankah artinya cukup kasar? Berpikirlah sedikit jernih, dia mengatakannya terang-terangan di depan istrinya sendiri!

"Ah. Mungkin akan sedikit lebih lama. Aku berangkat." Kini memperbaiki ucapan adalah satu-satunya hal yang dapat Luhan lakukan. Dia paham Sehun sangat tidak ingin dirinya pulang terlalu cepat. Entah alasan apa yang mendasarinya, atau Luhan sudah tahu tapi masih terlalu sakit untuk memperingati dirinya sendiri. Dengan begini, Luhan tidak perlu merasa bahwa dirinya membuat Sehun tertekan. Berkeliaran semalam penuh di luar apartemen, ataupun menginap di Coffea Cafébukanlah suatu yang terlalu buruk. Asalkan Sehun senang, dan merasa bahwa dirinyabebas.

Sehun menanggapi dengan mengendikkan bahu. Bibirnya sedikit mencebik dengan mata yang terus fokus pada layar benda elektronik tersebut.

Dan rasanya Luhan terlihat semakin menyedihkan.
.
.
.
TBC
Wah jahat sekali dasar oh sehun
next for next *haha* park eun gk pinter bhs. Inggris *hihi*

Fall For YouDonde viven las historias. Descúbrelo ahora