26. Takdir Itu Mempermainkan

128K 9.9K 578
                                    

"Nggak peduli orang lain ngomong apa. Aku cinta kamu. Nggak peduli orang lain mandang apa. Aku tetep cinta kamu."

-Rama

***

RAMA POV

"Kak. Kakak tau gak kakak temen Chacha yang paling Chacha sukain?"

"Oh ya?"

"Iya, abisnya Raka gak mau temenan sama kita. Dia malah asik main sendiri," ucapnya dan aku hanya tersenyum.

"Emangnya Chaca gak punya temen di sekolah?"

"Punya sih, cuman gak ada yang sebaik kak Ama. Kak Ama tuh baik, kata temen Chaca dia juga punya temen baik yang kayak Kak Ama, tapi temen baiknya malah pergi jauh. Jauhhh bangettt," ucapnya panjang.

"Memangnya pergi kemana?" tanyaku. Kami berdua duduk di sebuah jembatan dekat rumah Chaca. Jembatan ini berada di atas danau besar yang bersih. Kami sering bermain di sini. Menghabiskan waktu berdua. Lebih sering duduk kadang juga kami duduk-duduk di  bawah pohon dekat sini.

"Katanya ke luar negri. Ikut sama Mamanya, tapi Kak Ama gak bakalan pergi kan?" ucapnya sambil menatapku dengan mata berbinar penuh harap itu.

Aku menggeleng, "Nggak. Kan kak Ama disini aja. Emangnya kamu mau kakak pergi?" tanyaku.

Dia menggeleng cepat dengan mulut mengkerut, "Gak mau lah! Nanti Chaca gak punya temen lagi di sini kalau kakak pergi."

Aku tahu, rasa itu sudah ada sejak lama.

Dan aku hanya tersenyum. Dia mungkin lupa, karena waktu itu dia masih sangat kecil. Belum mengerti apa-apa.

Aku tersenyum mengingat hal itu. Tiba-tiba saja itu melintas dipikiranku. Ternyata tidak sia-sia Mama dan Papa mengobatiku sampai ke negri orang dulu. Meski mengingat itu perlu proses yang panjang. Butuh waktu yang lama untuk memulihkan pikiran.

Aku berjalan hendak mencari Ocha. Dia sedang belajar. Sebenarnya ini sudah malam tetapi dia terus saja belajar tanpa sepengetahuanku. Dia mengaku akan tidur tetapi di dalam kamarnya dia masih belajar.

Dari mana aku tau?

Tentu saja aku tau. Aku tidak bodoh. Biasanya terdengar bunyi kursi bergerak atau pensil jatuh akibat kecerobohannya dan aku tau dia pasti masih belajar. Padahal aku sudah menyuruhnya untuk istirahat.

Sebenarnya aku melarangnya tidur terlalu malam lagi, karena akhir-akhir ini dia sibuk dengan buku-buku pelajarannya. Aku hanya ingin dia supaya tidak sakit nantinya. Itu saja. Lagipula, ini sudah pagi. Dan dia baru saja sembuh.

Aku membuka pintunya dan berhasil. Tumben pintunya tidak tertutup bahkan tidak terkunci.

Aku melihatnya. Dia tertidur dengan posisi menaruh kepalanya di atas meja dan wajahnya tertutup buku. Aku berjalan menghampirinya lalu menggeleng pelan.

Dengan segera aku menyingkirkan buku itu dari wajahnya dan benar saja dia sedang tertidur. Tidurnya sangat tak nyaman. Dulu saat aku duduk di bangku kelas satu SMA aku sering tidur begini dikelas. Sudah menjadi kebiasaanku duduk di pojokan dengan kepala telungkup begini.

Aku ingat masa-masa kelamku pada saat itu. Pergi ke club-club dengan Helga, Iwan, dan Fendy dan pulang sampai mabuk. Menghabiskan waktu untuk menghabiskan uang orangtua. Nongkrong dari malam sampai pagi di depan pos ronda dekat rumah Helga sambil bermain gitar dan hasilnya kami dilempar sandal oleh penduduk setempat karena ribut menganggu tidur mereka.

Tetapi aku sadar. Itu hanya masa laluku. Aku tidak bisa lagi begitu. Sekarang aku punya tanggung jawab. Tanggung jawabku yaitu Ocha dan anakku yang ada di dalam kandungnya. Itu bukan beban, tapi tanggung jawab.

A Little LoveWhere stories live. Discover now