8. Rama & Raka

123K 9.7K 449
                                    

"Percaya karma? Percaya tidak percaya apa yang kamu tuai itu yang kamu dapatkan."

***

RAMA POV

Saat Mama dan Papa mengatakan bahwa aku akan di jodohkan, aku jelas frustarsi setengah mati mendengar hal itu. Kalau aku tidak menerimanya, maka aku akan di masukan ke pesantren. Ini gila. Benar-benar gila. Aku masih SMA dan aku harus menikahi gadis yang sama sekali tidak ku kenal. Aku bahkan tidak tau bahwa dia satu sekolah denganku.

Dan hal yang mengejutkan adalah, dia menerima perjodohan itu dengan lapang dada. Aku tidak mengerti. Dimana otaknya? Kami bahkan tidak saling mencintai dan aku harus mengemban tugas untuk menjaganya? Oh, God. Yang benar saja. Aku masih ingin bersenang-senang dengan masa mudaku.

Saat makan malam perjodohan itu kulihat dia ampak lesu sekali, seakan tidak ada tenaga dan pasrah tetapi aku tidak peduli. Dia menerimanya dan itu artinya harapnku kalau dia akan menolak perjodohan itu musnah. Sejak itu aku bertekad untuk membuat gadis yang ternyata adik kelasku itu menderita karena memilih hidup bersamaku. Yang penting aku cepat bercerai dengannya. Itu saja cukup.

Didalam perjodohan konyol kami, aku akan membuat hatinya hancur berkeping-keping dan saat itu terjadi dia pasti akan meninggalkanku tanpa ada perasaan apapun. Itu yang aku mau dan yang sedang aku jalankan.

Aku tidak mungkin tahan hidup dengan gadis itu. Mengenal kepribadiannya saja aku tidak mau dan tekadku sudah bulat, kami nanti akan bercerai saat aku lulus. Itu adalah janjiku pada diriku sendiri.

Aku tidak bodoh untuk melihat dengan jelas bahwa dia menyukaiku. Dari bahas tubuhnya saja aku tau dia mencintaiku. Aku tidak tau mengapa dia bisa mencintaiku, yang jelas aku akan tetap pada tujuanku; membuatnya membenciku.

Aku mengambil kunci mobilku dan memakai jaketku yang tergantung di dinding. Aku memainkan kunci mobilku dengan gerakan berputar-putar di jariku sambil mengambil tasku yang berada di sofa.

"Kak Rama gak makan? Aku udah siapkan Kakak makanan. Kita makan sama-sama ya?" ucapnya membuatku berhenti tempat serta-merta berhenti memainkan kunci di jari telunjukku. Dia belum juga menyerah. Kita liat saja Ocha. Kamu pasti gak bakalan betah.

"Jangan sok peduli deh," ucapku sambil menatapnya malas. "Dan jangan pernah buatin gue makanan lagi. Gue gak bakalan pernah makan, makanan yang lo buat," ucapnya. Dia menatapku dengan wajah murung namun sesaat kemudian lalu senyum halus terbit menghiasi wajahnya yang terlihat fresh.

"Sedikit saja Kak. Aku jamin pasti enak," ucapnya dengan nada yakin. Aku tahu dia berusaha mencairkan suasana yang sedang melanda kami. Tapi meskipun dia terus membujukku, aku tidak akan pernah sudi makan dengannya atau makan dari makanan yang dibuat olehnya. Bahkan satu apartemen dan ruangan bersamanya saja aku muak.

"Kenapa lo gak makan sendirian aja? Lagipula gue nggak level makan-makanan sampah kaya gitu," ucapku sambil menunjuk makanan yang dia buat dengan daguku. Kulihat perlahan senyum di wajahnya menghilang. Dia menatapku sebentar dengan pandangan terlukanya. Pandangan itu selalu membuatku lemah. Apa aku keterlaluan?

"Yaudah Kak gak pa-pa. Kalau Kakak gak mau makan. Hati-Ha—"

Tanpa mendengar lebih lanjut aku langsung meninggalkannya sambil membanting pintu apartemenku secara kasar. Aku masih berdiam diri di luar sambil menghela napas keras dan mengusap wajahku. Aku memang tidak perduli terhadapnya, tetapi setengah hatiku merasa kalau aku keterlaluan. Tapi mengingat kejadian acara makan malam perjodohan sial itu kembali membuatku kembali naik darah. Dia menerima semua keadaan begitu saja. Aku tak habis pikir kenapa dia begitu pasrah dengan putusan Bundanya yang sudah lama meninggal itu. Setiap melihatnya pun aku selalu merasa kesal.

A Little LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang