"Aku mencintainya Pah. Aku mencintai Riany. Dia segalanya untukku Pah. Tolong mengertilah." mohon iba Aaron. Wajah Aaron sangat pasi. Ia menitihkan air matanya namun cengkraman tangannya di tangan Riany begitu kuat. Seperti tak akan dilepaskan.

"Dia anak dari Bajingan itu Aaron. Darah yang ada di dalam tubuh gadis itu adalah darah bajingan yang merusak kehidupan rumah tangga Papa dan Mama."

"Aku tahu Pah." Aaron sangat sedih. Ia merundukkan kepalanya.

"Aaron, lepaskan aku. Aku harus pergi." gumam Riany tepat di telinga Aaron.

Gadis itu sangat rapuh mengetahui kenyataan yang ada. Darah yang mengalir di tubuhnya adalah darah bajingan yang selalu berusaha mencelakakan kedua orang tua lelaki yang dicintainya.

"GAK!" bentak Aaron kepada Riany.

"Ingat janji kita Riany. Tidak ada salah satu dari kita yang akan mengingkarinya." gumam Aaron tepat di telinga Riany.

"Avelo, usir gadis itu dari rumah kita." teriak Milan mengintrupsi putra keduanya mengusir Riany segera.

"Pah udah. Berhenti berteriak. Kasihan Mama Pah." Avelo mencoba untuk mengelus punggung Papanya. Emosi memang sudah melingkupi diri Milan saat ini. Avelo tak terbawa emosi. Ia sangat dewasa dalam menyikapi hal ini.

Andres pun masuk diikuti oleh Alice dibelakangnya. Entah mengapa ketika Andres masuk, ia tak ikut menengahi pertengkaran Aaron dan Milan. Justru ia menghampiri Mamanya yang terkulai lemas dengan wajah yang basah karena air mata.

"Mama kenapa Kak?" raut wajah Andres sudah menampakkan kekhawatiran.

"Aku gak tahu. Pasti semua karena pertengkaran ini." Tak ingin mengambil resiko, Andres menggendong tubuh Mamanya dan dibawa menuju kamar. Alice dan Alena ikut bersama Andres masuk ke dalam kamar. Segera Andres meraih tasnya yang dibawa oleh Alice.

"Andres, beri obat penenang." ujar Alice.

"Enggak. Mama gak bisa minum obat itu. Aku harus memberinya suntikan penenang. Jiwa Mama sedang terguncang." Andres mengambil suntik memasukkannya ke dalam sebuah botol kecil berisi cairan putih lalu menyuntikkannya tepat di tangan Viola.

"Aaron.... Aaron...." gumam Viola tak jelas. Matanya tertutup namun bibirnya terus bergumam memanggil nama Aaron.

Perlahan Viola menutup matanya dan suara dengkuran halus pun terdengar. Viola sudah tenang dan terlelap dalam tidurnya.

"Alicia, tolong jaga Mama ya. Aku mau ke depan dulu. Sepertinya masalah akan semakin runyam." Alice mengangguk dan menyalakan kode untuk Andres supaya tetap tenang.

"Kak Lena." Andres menyentuk lengan Kakaknya berpamitan keluar.

"Hati-hati Ndres. Papa sedang tidak stabil." ucap Alena setengah tak rela melepas Andres yang masih terlalu kecil mengerti keadaan ini.

"Baik Kak." Andres berlalu meninggalkan Alena dan Alice beserta Viola yang sudah tenang.

Suasana di ruang tengah masih mencekam. Milan dengan pendiriannya, Aaron juga demikian.

"Pah, Sudah Pah. Kasian Mama." Avelo terus membujuk Milan agar sedikit tenang.

Tapi Milan tetap menolak. Dengan sedikit cengkraman, Milan meraih bahu Aaron.

"Dengarkan Papa Aaron! Lihat Papa." Teriak Milan. Mata Milan menggelap karena ia begitu marah dan kesal akan pendirian putra sulungnya yang salah.

"Dia adalah keturunan lelaki yang selama hidupnya selalu membuat Papa dan Mama merasa sensara. Ia hadir diantara kami ingin memisahkan kami dengan berbagai cara yang ia bisa. Lelaki itu bahkan hampir memperkosa Mama dan membuat kalian nyaris tidak pernah terlahir di dunia ini." telunjuk Milan tepat berada di depan Wajah Aaron.

Not My Fault (Complete)Where stories live. Discover now