《6》Home?

Mulai dari awal
                                    

"Cepet ganti baju. Terus makan." Riana menoleh ke arahku dan hanya mengangguk sebelum dia langsung naik ke kamarnya dalam diam.

Saat aku juga akan masuk kamar, aku melihat ayah keluar dari rumah dengan setelan yang sudah rapi. Dari dulu ayah selalu menunjukkan sikap tidak sukanya padaku dan Riana. Tapi bedanya, aku sadar akan hal itu dan tak pernah berharap lebih dari seorang ayah. Sedangkan Riana, dia selalu berharap bahwa suatu hari nanti ayah akan berubah.

Aku langsung masuk ke dalam kamar dan mengganti seragamku. Selesai itu, aku langsung masuk ke dalam kamar Riana.

"Ana, kenapa belom ganti?" Riana menatap kosong ke luar jendela. Dia pasti sedang melamun. Saat aku mendekat ke arahnya, tiba-tiba dia bersin.

Hatchi.

"Ana, lo sakit?" Tangaku khawatir. Padahal cuaca sedang baik-baik saja.

"Sejak kapan lo masuk?" Riana menoleh ke arahku dengan wajah yang pucat.

"Lo sakit?" tanyaku tanpa menghiraukan pertanyaannya.

"Ih Rian, kalo ditanya itu jawab. Jangan balik nanya," ujarnya merajuk.

"Nah yang mulai kan elo." Tadi kan dia yang tidak menjawab pertanyaanku. Kenapa malah aku yang disalahkan?

"Gue gakpapa," ujarnya.

Hatchi.

"Gakpapa tapi dari tadi bersin mulu." Aku duduk di tepi ranjang sebelah Ana.

"Gue gakpapa, Yan. Sejak kapan lo masuk? Kok gue gak keliatan?"

"Sibuk ngelamun sih lo." Ana langsung cemberut saat aku mengacak-acak rambutnya.

"Lo kenapa deh gak ada hujan gak ada angin tiba-tiba aja bersin kek gitu."

"Udah dibilang gakpapa juga." Percuma juga maksa Ana bicara saat ini.

"Ya udah. Cepet lo ganti baju, gue tunggu di bawah buat makan."

Aku keluar dari kamar Riana turun ke lantai satu. Saat menuruni tangga, aku melihat bunda baru saja pulang. Bunda langsung menghentikan langkahnya saat dia melihatku.

"Riana mana, Yan?" Hanya pertanyaan formalitas seperti biasa.

"Ada di atas," jawabku seadanya.

"Oh ya udah. Bunda harus berangkat lagi." Bunda langsung meninggalkanku menuju kamarnya.

"Kalian kenapa sih?" bunda langsung menatapku lagi.

"Maksud kamu apa, Yan?" Bunda menatapku dengan alis yang bertaut.

"Mau kalian itu apa? Bunda selalu aja sibuk. Ayah? Sepertinya dia membenci kami." Kulihat bunda sedikit tegang setelah mendengar ucapanku tadi. Tapi dengan cepat bunda menormalkan ekspresinya.

"Mana mungkin ayah membenci kalian. Perasaan kamu aja kali, Yan. Bunda kerja juga kan buat kalian. Udah ah bunda buru-buru." Bunda sudah memegang gagang pintu bersiap masuk ke kamarnya. Aku masih tetap pada posisiku yang berdiri di tangga. Setelah mengambil berkasnya, bunda keluar dari kamar dan hendak pergi lagi.

"Terserah apa yang kalian lakuin. Aku sadar dan udah terbiasa sama kalian yang kayak gini. Tapi Riana? Dia bahkan masih berharap kalian bisa berubah. Aku cuma gak mau Ana sedih." Bunda masih berdiri mematung setelah mendengar perkataanku. Mood makanku sudah hilang sekarang. Aku langsung saja kembali ke kamar dan mengurung diri.

***

Riana's POV

Aku sudah selesai ganti dan akan menyusul Rian ke bawah. Saat aku membuka pintu, aku lihat Rian masih berdiri di anak tangga terakhir.

"Terserah apa yang kalian lakuin. Aku sadar dan udah terbiasa sama kalian yang kayak gini. Tapi Riana? Dia bahkan masih berharap kalian bisa berubah. Aku cuma gak mau Ana sedih." Itu suara Rian. Saat aku buka pintu lebih lebar, ternyata bunda sedang ada di ruang tamu. Saat sadar Rian akan berbalik, aku langsung menutup pintu kembali.

Ya aku memang naif. Berharap orang tuaku berubah, berharap ayah bersikap lembut padaku, berharap bunda lebih punya banyak waktu untukku. Apa yang bisa dilakukan orang sepertiku yang seperti tak pernah mendapat kasih sayang orang tua. Bahkan setelah aku ingat, ayah tak pernah sekalipun bicara denganku. Aku memang terbiasa dengan sikap mereka yang seperti itu, sama dengan Rian. Hanya saja aku sedikit naif berharap semuanya akan berubah.

Aku hanya menatap langit kamarku dengan berbagai pikiran yang memenuhi otak. Kudengar suara mesin mobil yang dihidupkan. Pasti bunda pergi lagi. Apa aku harus seperti Rian yang menerima semuanya dan gak pernah berharap hal yang mustahil?

Aku memejamkan mata. Lelah. Kenapa rasanya hari ini sangat berat sekali.

Ping.

Ponselku berbunyi. Saat aku lihat ada BBM dari Luke. Saat ini aku sedang malas melakukan apapun. Jadi kuabaikan saja pesan dari Luke. Tapi semakin lama, ponselku terus saja berbunyi. Dan semuanya dari Luke.

Riana A : Apaan sih lo Luke? kurang kerjaan ganggu orang aja.

Luke : Hehehe. Aku kan mau ngobrol sama kamu dan nanya tugas Bu Priska yang tadi.

Lagi ngetik balesan buat Luke, eh ponsel pakek lowbat lagi. Bodo, biarin aja si Luke. Aku langsung mencharger ponselku dan balik ke ranjang buat tidur lagi.

Aku mendengar pintu kamarku terbuka. "Lo kok malah tidur sih?" itu suara Rian. Iyalah Rian, memangnya di rumah ini ada siapa lagi sekarang selain aku dan Rian.

Aku tak menjawab pertanyaan Rian dan tetap memejamkan mataku. "Mau ikut makan di luar gak?"

Aku langsung membuka mata dan duduk di sisi ranjang. "Lo yang bayar?" tanyaku semangat.

Pletak.

"Aduh. Sakit woi. Hobi banget sih lo jitakin kepala gue." Rian hanya tertawa mendengarku. Dasar kembaran durhaka.

"Lo kalo gratisan aja cepet," cibirnya.

"Bodo. Jadi gak?" tanyaku penuh semangat. Senengnya makan di luar tanpa ngurangin uang jajan.

"Ya udah jadi. Ayo." Rian mengacak rambutku sebelum keluar dari kamarku.

Rian berbalik lagi saat sudah berada di ambang pintu. "Mau nginep apartemen gue lagi malem ini?"

Aku langsung mengangguk antusias sebagai jawaban. Lagian percuma juga di rumah segede ini tapi sendirian, mending ke apartemen Rian aja.

"Ya udah bawa baju ganti sana. Gue tunggu lo di luar. Gak pakek lama atau gue tinggal."

"Iya Rian bawel."

---

A/n

Hai readers.. maaf kalo banyak typo dimana-mana yaa..

Regards,
girlmini_II ♡

26 November 2015

Rian(a) [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang