Prolog

41.4K 2.5K 110
                                    

Seperti sedang merasakan sebuah nostalgia di kala menginjakkan kaki pertama kali di sini, aku sedang menikmati minuman dengan botol gendut berwarna kuning yang paling diincar oleh banyak orang saat berkunjung. Dengan kemasan sebegini unik, dan sangat menojol jika siapapun melihatnya berjejer dengan pesaingnya di rak supermarket atau convenience store yang ada di sini. Rasa yang sangat nikmat, tidak terlalu manis, terlihat murni sebuah minuman susu rasa pisang. Have you tried the phenomenal Banana flavored milk drink? At least, you have to try it if you visit Korea.

Ah, terdengar seperti sedang beriklan bukan?

Berbicara Korea, aku memang benar sekarang tinggal di Korea Selatan. Saat ini aku sedang sendirian,ditemani lagu alami yang dihadiahkan oleh Tuhan kepada dunia. Rintiknya semakin deras dan semakin merdu, aku suka suara hujan. Jika orang lain akan menjauhi jendela ketika hujan, aku sengaja mendekati jendela, sekedar membuat tulisan dari uap yang ku tiup, atau hanya terdiam. Menikmati hujan. Mencium bau yang dihasilkan saat hujan jatuh di tanah kering.

Hampir semua buku bertema romance yang pernah aku baca menyukai hujan, katanya membawa kembali kenangan, ataupun membuat sebuah adegan dalam hidup lebih serasa romantis, tapi bagiku, aku menyukai hujan bukan karena buku-buku yang aku baca. Tapi karena hujan menghalangiku untuk pergi, setidaknya jika hujan aku harus menggunakan payung, berjalan hati-hati agar tidak terciprat genangan, harus berusaha lebih keras, sehingga aku akan memilih menunggu hujan, menikmatinya, membuatku terdiam, kemudian berpikir. Berpikir tentang banyak hal yang jika aku tidak sedang menunggu hujan berhenti, mungkin aku tidak bisa memikirikannya, tidak sempat. Seperti berpikir tentang bersyukur.

Saat ini, aku juga sedang menunggu. Hingga hujan sedikit reda, aku akan bergegas untuk pergi. Mengingat kenangan lalu, saat sebuah telepon tiba-tiba saja membuat nafasku terhenti dalam beberapa detik. Aku ingat dengan jelas kata-katanya,

"Melodi!" Ya, itu namaku. Tak seperti biasanya ia segera memanggil namaku di seberang telepon sana. Dia biasanya adalah pria yang sangat sopan.

"Ya, Halo." Aku ingat menjawabnya dengan nada sedikit kebingungan.

"Besok. Jam 7 Pagi di ruang musik." Kemudian telepon ditutup. Hanya kalimat yang ia tekankan itu sudah membuat dadaku bergemuruh.

Aku sungguh penasaran hal apa yang membuat seorang pria yang sangat sopan bertindak seperti kemarin. Memanggil namaku begitu saja dan menutup telepon sebelum aku menjawab. Oh mungkin karena dia seniorku, atau dia guruku, panutanku selama ini.

Detak jantungku sebenarnya sedang tak karuan sekarang ini. Apakah aku melakukan kesalahan? Atau sebaliknya ada berita baik? Aku benar-benar tidak tau. Ia tak memberikanku sedikit saja kesempatan untuk bertanya, dan aku tak berani juga mengiriminya pesan, aku belum seakrab itu hingga bisa bertanya melalui pesan.

Sebaiknya aku berdoa. Karena doa dikala hujan setiap tetesnya mengandung kata Aamiin, benar?

Aku berjalan tak sabaran menuju aula musik. Seperti biasa, gaya vintage adalah andalanku. Terlihat tua? Seseorang harusnya tau kalau vintage berbeda dengan retro, meski sama-sama jadul, jelas karakteristiknya tidak bisa ditukar. Feminin dengan glamor tentu berbedakan?

Langkahku semakin dipercepat. Ku biarkan rambut panjangku terurai, bukan ingin mendramatisir sehingga terlihat elegan saat angin berhembus dan menyibak rambutku hingga semua pria takjub menatapnya, tapi lebih karena aku tak bisa membuat rambutku rapi. Rambut ini terlalu jatuh dan susah diatur.

Semakin dekat, jantungku berdegup lebih cepat. Hingga kini gangang pintu telah berhasil ku capai.

"Excuse me." Kataku memunculkan kepala terlebih dulu ke dalam aula.

MelodiesWhere stories live. Discover now