Menu 1: 23!

148K 7.1K 123
                                    

Papi masih diam ditempat, ia seperti sibuk dengan pikirannya sendiri. Aku berinisiatif mengambil kursi kayu yang tidak sengaja kurusak pegangannya saat bermain dengan Dino-adikku yang masih berumur 11 tahun, agar Papi bisa duduk sejenak. Papi masih mencoba mencari mataku dan aku masih mati-matian mengelak, lagi-lagi ia hanya menghela napas panjang. Ia menggaruk kecil serabut kayu yang bermunculan dikursi butut itu, lalu membuangnya saat tangannya berhasil mengambil sekeping kecil kayunya, suara garutannya membuat perasaanku tidak karuan, jelas aku mulai merasa tidak nyaman dan Papi pun menyadarinya.

"Baunya enak.." Papi berusaha membicarakan kue buatanku.

Aku hanya menggumamkan kata 'Ya' dengan amat pelan, aku tidak tahu apakah papi akan mendengarnya atau tidak.

"Papi cuma mau bakat kamu diasah ditempat yang tepat, Papi cukup beruntung dapat tawaran dari teman baik Papi untuk kamu, kamu jelas tau restoran yang Dewa pegang bukan restoran main-main. Untuk sekedar magang pun sulit, Papi harap kamu bisa pikirin lagi." Jelas papi sambil membersihkan sisa tepung dipipiku.

"Happy birthday my little girl, semoga Papi masih memiliki cukup waktu untuk melihat kamu terus bahagia." Papi mengecup dahiku pelan lalu pergi dan menutup pintu.

Aku hanya memandangi pintu yang barusan Papi tutup, mungkin harusnya aku tidak seegois itu.

Kualihkan perhatianku dengan menghias kue yang sudah mendingin, entah kenapa hasilnya kurang memuaskan, olesan cream cheesenya terkesan amburadul dan berbintil-bintil jelek, salahku terlalu kasar saat mengolesnya. Kucoba menata kue red velvet itu dengan perasaan campur aduk, ucapan papi masih tergiang diotakku. Tentu aku ingin menjadi anak Papi yang manis, yang selalu menuruti apapun yang papi inginkan. Kupotret kue itu, tidak semenyenangkan biasanya. Kupandangi hasil fotoku yang terlihat biasa saja, memang aku sengaja mengemas blogku secara amatir, aku tidak menyangka banyak yang menyukai konsep yang aku buat, sudah beberapa kali aku masuk koran untuk interview singkat, Papi bahkan mengklipingnya. Mungkinkah aku harus mengalah? Tidak ada salahnya juga mencoba.

Kutinggalkan kue red velvet itu dan berjalan cepat menuju ruang tamu untuk mencari papi, tapi hanya ada mami yang sedang bermain dengan Dino.

"Papi dimana mi?", tanyaku buru-buru.

"Dihalaman kayaknya, tadi keluar, mungkin nyiram tanaman." Mami masih asik menjalankan pionnya.

"Oke makasih mi."

Aku segera berlari menuju halaman, setelah sedikit mencari rupanya papi sedang mencabuti rumput liar yang tumbuh diantara paving blok depan garasi mobil. Muka papi terlihat bingung saat melihatku menghampirinya buru-buru, ia melepas sarung tangan karetnya dan mencuci tangan dikeran air.

"Oke pi, oke, aku mau coba.." ujarku ragu.

"Yakin?"

"Dont make me change my mind pi." Keluhku yang dibalas senyum lebar papi.

"Perfect! Papi bakal telepon Dewa kalo kamu terima tawaran kerjanya." Jawab papi sumringah.

Aku belum pernah bertemu dengan teman Papi yang satu ini, tapi sering kudengar papi menerima telepon dari Dewa. Hanya percakapan membosankan mengenai kabar dan cuaca tipikal percakapan orang tua, bahkan beberapa kali aku mendengar mereka membicarakan merk obat gosok yang bagus dan membandingkannya dengan produk yang Papiku pakai beberapa tahun belakangan, selebihnya tidak ada yang menarik selain Dewa adalah pemilik restoran paling berkelas dikotaku, kami juga jarang makan disana, hanya sesekali dan Dewa selalu saja tidak bisa menemui kami karena ada kepentingan yang tidak bisa ditunda-tapi aku makan steak dan kentang tumbuk yang enak sekali disana, jadi aku tidak pernah memikirkannya.

Sweet BlackoutWhere stories live. Discover now