***

Dengan takut-takut, Rei menengok ke dalam ruang rawat Rinai. Ia meremas jari-jarinya. Merasa sangat bersalah dan merasa bodoh karena bisa-bisanya ia membuat Rinai menangis. Bisa-bisanya ia menjadi laki-laki pengecut yang bahkan tidak berani menghadapi masalah. Hanya bisa lari dan bersembunyi. Bodoh! Ia memaki dirinya sendiri. Ia melihat ada orangtua Rinai yang berada di dalam. Sementara ia tidak bisa terlalu jelas melihat Rinai karena tertutup orangtuanya dan ia hanya menengok dari jendela kaca. Ia tidak mau mengganggu kebersamaan orangtua dan anak itu. Apalagi kemungkinan besar orangtuanya akan memandang Rei negatif karena ia bahkan baru pertama kali menunjukkan batang hidungnya. Saat Rei hendak pergi daan meutuskan untuk kembali lagi nanti, sebuah tangan menahannya. Ia menoleh ke belakang. Sudah ada Rain disitu yang tersenyum lembut padanya.

"Mau kabur lagi?" Rain menaikkan sebelah alisnya.

Rei menggeleng lemah, ia menoleh ke jendela kaca sekilas, "Rinai lagi sama orangtuanya, gue nggak enak kalau harus ganggu."

"Kita masih bisa nunggu kan. Gimana?" Rain menawarkan. Rei mengangguk. Kemudian Rain mengajak Rei untuk menunggu di cafeteria rumah sakit. Memang ada beberapa hal yang harus Rain bicarakan pada adiknya itu. Saat mereka tiba di cafeteria, Rain memesankan dua cokelat panas untuk mereka.

"Gimana perasaan lo sekarang?" tanya Rain tanpa basa-basi.

"Lebih baik. Gue udah lega lihat dia baik-baik aja," jawab Rei.

"Rei, lo percaya kan sama gue?" raut wajah Rain tiba-tiba berubah serius.

"Maksud lo tanya gitu apa?" Rei merasakan ada sesuatu yang aneh dari kakaknya. Ia merasakan bahwa Rain menyembunyikan sesuatu darinya. Dan tugasnya saat ini adalah mengorek informasi dengan cara yang sangat halus agar Rain mau jujur padanya.

"Lo tau, sampai saat ini gue masih ngerasa bersalah sama lo masalah Clery. Dan mungkin gue mau nebus kesalahan gue sama lo. Yang terpenting sekarang lo kasih kepercayaan sama gue. Dan akan gue pastikan Rinai bakal baik-baik aja. Kalian bisa sama-sama lagi," pandangan Rain sedikit menerawang.

"Maksud lo apa sih, Rain? Gue nggak paham!" Rei mengernyitkan dahi. Merasa bahwa arah pembicaraan Rain sama sekali tidak ia mengerti. "Emang Rinai kenapa?"

"Kalau gue kasih tau lo kebenarannya, apa yang bakal lo lakuin? Lo bakal nyiksa diri lo lagi kalau misal gue kasih kabar yang nggak baik buat lo?" Rain mencoba memastikan. Karena untuk membicarakan hal ini dengan Rei butuh waktu yang tepat dan Rain tidak ingin ceroboh. Ia tidak ingin melihat Rei hancur lagi.

"Gue akan menghadapi semuanya dengan berani. Kalau perlu, gue yang akan jadi sumber kekuatan buat Rinai. Gue janji nggak akan ninggalin dia lagi. Gue akan jaga dia baik-baik," Rei memutuskan dan dari sorot matanya Rain dapat melihat ada keyakinan disana.

"Oke... gue pegang kata-kata lo. Rei, sekarang Rinai mengidap penyakit ginjal kronis yang bisa bikin dia gagal ginjal. Dia membutuhkan donor ginjal," Rain memberitahu dengan pelan dan hati-hati. Ia memandang rei tajam melihat bagaimana reaksinya.

Rei membeku. Rain dapat melihat tangan Rei sedikit bergetar. Rei kemudian mengalihkan pandangannya, takut jika Rain bisa menangkap matanya yang sudah berkaca-kaca. Rei menggigit bibir bawahnya. Mencoba menahan agar air mata itu tidak berhasil turun di pipinya. Ia menghela nafas panjang dan berat. Kemudian kembali menoleh pada Rain.

"Gue akan mendonorkan ginjal gue buat dia," putus Rei tiba-tiba. Ia tidak berpikir panjang. Saat ini yang ada dipikirannya adalah kesembuhan Rinai.

Rain tersenyum dan menggeleng pelan, "Berapa usia lo, Rei? Lo masih 18 tahun. Masih sangat rawan buat lo bisa donorin ginjal ke Rinai."

Rei mendesah kecewa. Ia meminum cokelat panasnya, untuk menyamarkan perasaannya yang saat ini tidak karuan. "Gue nggak mau Rinai kenapa-kenapa, Rain! Gue yang tanggung resikonya, asal dia sembuh," tegasnya.

Rinai HujanWhere stories live. Discover now