Rinai Hujan 13

4.8K 346 2
                                    


"Pensi kurang seminggu lagi. Kita udah daftar kalau band kita bakal tampil, sekarang seenaknya lo batalin semuanya, Rei?!" teriak Tobby. Erza, Beben, dan Onie memandang Rei dengan tatapan keheranan sekaligus tidak percaya dengan apa yang baru diucapkan oleh Rei beberapa menit yang lalu.

"Gue nggak ngebatalin. Lo boleh cari orang lain buat gantiin posisi gue. Gue nggak bisa datang karena gue ada urusan penting yang nggak bisa gue tinggal," Rei memberi alasan.

"Kalau tau bakal kayak gini mendingan kita nggak usah tampil sekalian, Rei! Seenaknya lo bilang cari pengganti lo. Lo pikir gampang, hah?!" kini Erza yang berbicara dengan nada tinggi.

"Maaf. Gue bener-benr nggak bisa," Rei menggeleng-gelengkan kepalanya. Tanpa basa-basi lagi ia meninggalkan studio band sekolah.

"Rei... Rei...!!!" panggilan itu pun tidak mampu membuat Rei untuk kembali.

***

Suasana kantin kali ini lebih sepi dari biasanya. Dengan bebas Onie dan Rinai dapat memilih tempat di ujung kantin karena mereka tidak berniat untuk memesan makanan.

Sambil menunggu Rinai bicara, Onie mengetuk-ngetukkan jaru telunjuknya di atas menja. Rinai masih saja diam. "Katanya lo mau ngomong sama gue?" Onie yang memulai pembicaraan.

"Ehmm... Gue denger Rei lagi konflik sama kalian, ya?" Rinai sedikit bingung dengan apa yang ia katakana. Sebenarnya ia mengajak Onie kesini bukan untuk membicarakan hal ini.

"Beritanya kesebar cepet banget sih? Hmm, emang saat ini anak-anak lagi nggak enakan sama Rei. Tapi kalau gue nggak merasa ada masalah sama dia. Kenapa?" Onie berusaha menemukan manik mata Rinai. Ia ingin mencari jawaban di mata Rinai yang sejak tadi terlihat sendu.

"Hmm... sebenernya bukan itu yang mau gue omongin. Gu... gue... sama lo... kayaknya nggak bisa bohongin Rei lagi. Kita udahan aja ya pura-puranya? Gu... gue nggak mau nyiksa Rei lebih banyak lagi," kini Onie berhasil menemukan mata Rinai. Ia memandang Rinai lama sebelum mengangguk. Terlihat jelas di mata Rinai sorot penyesalan yang amat dalam.

"Gue minta maaf, Rin. Ini semua ide gue. Nggak seharusnya gue..."

"Bukan salah lo. Waktu itu gue juga nggak pikir panjang. Udahlah nggak usah saling menyalahkan," Rinai menghela nafas panjang. Dalam otaknya wajah Rei tidak berhenti berkeliaran.

***

Sore ini hujan kembali mengguyur kota Bandung. Sebagian siswa Yudhiska sudah pulang karena mereka sedia payung sebelum hujan, sebagian lagi harus menunggu sampai hujan reda karena mereka tidak membawa payung. Rinai masuk ke dalam kelompok yang harus menunggu hujan reda. Ia menunggu di dalam kelas bersama anak-anak yang lain yang juga tidak membawa payung.

Rinai mengedarkan pandangan ke seluruh kelas, ada delapan anak yang masih disini. Rinai tidak begitu dekat dengan mereka karena mereka semua laki-laki. Mungkin di kelas ini hanya Rinai satu-satunya cewek ceroboh yang udah tau musim hujan tapi tetep aja nekat nggak bawa payung. Sebenarnya ia bisa saja pulang bersama Onie, tapi Rinai merasa tidak enak jika terus-terusan merepotkan Onie. Akhirnya ia menyuruh Onie pulang duluan, untung saja Onie langsung menyetujui.

Rinai duduk bertopang dagu melihat kelakuan teman-temannya. Mereka sedang bermain kartu! Ya ampun, niat banget sih bawa kartu remi ke sekolah? Lama-lama Rinai terbawa oleh lamunannya. Wajah Rei masih belum mau pergi dari pikirannya. Rinai menggeleng-gelengkan kepala. Mengingat Rei membuat mood-nya jadi lebih buruk. Otaknya butuh di refresh. Tiba-tiba sebuah ide melintas diantara wajah Rei yang menari-nari dalam otaknya. Mungkin dengan cara itu bisa sedikit mengurangi beban pikirannya. Rinai tersenyum kecil kemudian beranjak meninggalkan kelas.

Rinai HujanWhere stories live. Discover now