Rinai Hujan 1

25.3K 710 15
                                    

Cerita baru lagi...

Plakk!! tampar author.. hehehe maap..maap.. cerita ini sebenernya sudah lama dibuat sama author cuma sayang kalau nggak di publis.. so cekidot readers... jangan lupa votement yaa..

Sekalian promosi mampir ke cerita author lainnya (Orpheus Fairy Tale, Autumn's Amour, dan When Sunrise at Lovina) Promosi teruuuss.. biarin penting halal. hahaha..

***


Gadis itu memandang bangunan di depannya dengan pandangan kosong. Sebuah rumah berlantai dua, dari luar tampak begitu asri karena di halamannya terdapat pohon belimbing dan beberapa tanaman lain dalam jumlah cukup banyak. Kolam ikan ditambah dengan air mancur di tengah taman menambah nilai estetikanya. Selain itu, di depan rumah juga ada sebuah teras dengan dua kursi dan sebuah meja kayu. Rumah ini sangat manis. Tapi apakah pemiliknya juga demikian?

Ia menghela nafas panjang. Dalam pikirannya berkecamuk berbagai hal. Disinilah ia akan tinggal selama setahun. Disinilah ia akan memulai hidupnya tanpa kedua orang tuanya. Disinilah ia harus belajar mandiri. Tapi apa ia bisa? Mungkin ia tidak akan datang kesini kalau saja bukan karena....

Ia menggeleng-gelengkan kepala sebelum pikirannya berkelana terlalu jauh. Tiba-tiba seorang kakek keluar dari dalam rumah. Memandangnya sebentar, kemudian tersenyum hangat. Mau tidak mau ia membalas senyuman kakek itu dengan canggung.

"Rinai, ya?" Kakek itu mengangkat kedua alisnya, bertanya. Gadis yang bernama Rinai itu mengangguk. "Oh, kenapa nggak langsung masuk ke dalam? Oma sudah menunggu di dalam. Dia khawatir kalau Rinai nggak jadi datang."

Rinai diam saja, sibuk dengan pikirannya sendiri. Ia tidak terbiasa berada di tempat asing. Tiba-tiba saja ia merindukan rumahnya. Ia ingin pulang. Tapi mustahil, ia sudah melangkah, dan tidak akan mungkin berbalik arah.

"Ayo masuk, barang-barang Rinai biar Opa yang bawa," Opa menuntun Rinai ke dalam.

Rinai menurut saja, ia melangkahkan kaki perlahan. Ia dapat melihat seorang nenek keluar dari rumah. Nenek itu melambai-lambaikan tangannya sambil tersenyum ramah pada Rinai. Rinai jadi merasa bersalah telah meragukan kebaikan mereka. Buktinya Rinai disambut dengan kehangatan seperti ini. Kehangatan yang sudah lama tidak ia rasakan, membuat dada Rinai disesaki oleh rasa nyaman yang tiba-tiba muncul.

"Akhirnya kamu datang juga, Rinai. Tadi Oma berkali-kali telepon mama kamu. Kalau nanti di jalan ada apa-apa bagaimana? Kata mamamu kamu baru pertama kali naik bus kota, jadi Oma sangat khawatir," cerocos Oma yang menyambut Rinai di depan pintu. Rinai tersenyum kikuk. Oma memperlakukannya seperti anak TK saja, padahal tahun ini ia akan masuk kelas XI SMA. Tapi ia senang juga karena ada yang memperhatikannya sampai seperti itu. Sekali lagi, kehangatan ini seperti menampar pipinya. Menyisakan rasa sakit dan bekas yang tak kasat mata.

Oma memeluk Rinai. Dengan canggung Rinai membalas pelukan Oma. "Kamu sudah besar sekarang. Terakhir Oma lihat kamu waktu kamu masih SD. Dulu itu kan kamu paling suka main petak umpet sama sepupu-sepupu kamu. Oma juga ingat dulu kamu pernah jatuh waktu belajar sepeda roda dua sampai kaki kamu dijahit," Oma berceloteh sambil menggiring Rinai memasuki rumah. Rinai yang mendengar celotehan Oma hanya bisa menanggapi dengan senyuman dan anggukan seadanya. Ia bingung harus berkata apa, masih merasa asing dengan dunia barunya.

Setelah masuk ke dalam rumah, pandangan Rinai mulai berkelana. Kalau di bandingkan dengan rumahnya, rumah ini lebih kecil dan sederhana, tapi tetap berkesan manis. Semua perabot yang ada merupakan perabot tua yang antik dan bernilai seni tinggi. Di dinding yang bercat putih juga terdapat foto keluarga. Rinai dapat melihat diantara wajah dalam foto itu ada wajah orang tuanya, Oma, Opa, Tante, Om, dan keluarga lainnya.

Rinai HujanWhere stories live. Discover now