Rinai Hujan 7

5.5K 351 4
                                    

Story ini akan diupdate setiap hari 1x yaa.. kalo authornya lagi khilaf ya bisa 2 sampe 3 part sekaligus dalam sehari.. :D :D :D

Ditunggu vommentnya readers kece...

***

Flashback

Gadis kecil itu memandang bangunan di depannya dengan pandangan takjub. Ini pertama kalinya ia pergi ke tempat ini, bersama dengan orang-orang yang paling ia sayangi. Rain dan Rein. Dua kakak beradik yang seperti anak kembar, itu menurutnya.

"Gimana caranya aku bisa naik kesana?" gadis itu tidak bisa menyembunyikan sorot kesedihan dari nadanya.

"Kamu mau naik? Bisa kok..." sahut Rain. Setelah berkata demikian, Rain membopong gadis itu hanya dengan sekali gerakan. Rein mengekor di belakang saat Rain dan si gadis mulai menaiki anak tangga pertama. Rein bisa membayangkan pasti sangat capek bila harus menggendong tubuh mungil itu hingga ke puncak.

"Kak Rain, kalau kakak capek biar aku aja yang gantiin," Rein menawarkan.

"Clery nggak mau di gendong Kak Rein. Badannya kan kecil, ntar Clery jatuh," si gadis menyahut dengan suara jenaka. Kedua kakak beradik itu tertawa bersamaan.

"Kalau jatuh kan kita jatuh berdua, Clery. Aku rela kok kalau jatuhnya sama kamu," Rein mengeluarkan jurus merayunya.

Gadis kecil yang bernama Clery itu terkikik mendengar ucapan Rein. Ia mempererat pelukannya pada Rain. "Pokoknya nggak mau....weeekkkk..." ia menjulurkan lidahnya.

Tidak terasa mereka sudah sampai di puncak. Rain menurunkan Clery. Seketika itu juga Clery berusaha berlari untuk menyentuh sebuah stepa yang terletak dua meter darinya. Kakinya yang menggunakan penyangga untuk berjalan ternyata tidak mau menuruti kemauannya. Kaki itu tidak kuat bertahan pada tanah dan membuat tubuh Clery oleng. Untungnya tangan sigap Rain segera menangkapnya.

"Clery kalau mau jalan bilang dong sama kakak, biar kakak bisa gandeng Clery," nasehat Rain. Clery mengangguk-angguk sambil memamerkan senyumnya.

"Kakak, fotoin Clery sama patung budha itu, ya? Kapan lagi aku bisa ke Borobudur. Mumpung lagi disini, Kak..." rengek Clery ketika Rain sudah berhasil menuntunnya duduk di sebuah stepa kepala Budha. Rain mengeluarkan kamera dari tas ranselnya, kemudian mulai membidik objek indah di depannya. Bukan stepa budha yang menurut Rain indah, tapi seorang Clery. Gadis kecil yang beranjak remaja itu.

Melalui lensa kameranya, Rain menangkap Rein sudah berdiri di samping Clery dan merangkul bahunya. Rupanya ia juga ingin di foto. Rain mengambil gambar kedua anak itu dan tersenyum puas melihat hasil jepretannya.

"Clery, nanti foto kita dicetak, ya? Mau aku pajang di kamar aku biar inget kamu terus," ujar Rein pelan.

Wajah Clery merona, "Ah Kak Rein bisa aja deh. Tiap hari kan kita ketemu?"

"Clery, kamu mau kita foto bertiga? Tuh ada tukang foto keliling. Bayar dikit nggak apa-apa lah yang penting kita punya kenang-kenangan bertiga disini," Rain berusaha mengalihkan pembicaraan. Clery mengangguk. Setelah itu Rain memanggil tukang foto yang ada di dekat mereka. Rain mengambil posisi di samping Clery. Jadi sekarang Clery berada di antara dua kakak beradik yang menurutnya seperti anak kembar itu. Mereka membentuk simbol peace dengan dua jari mereka.

Satu... dua... tiga... jepreetttt...

***

Rei terlempar kembali ke realitas yang ada di depannya sekarang. Sebuah kenyataan yang harus membuatnya percaya bahwa gadis yang sekarang ada di depannya bukan Clery, melainkan Rinai yang sebelumnya sama sekali tidak ia kenal. Gadis yang sama sekali tidak tau tentang masalahnya, tapi sudah ia jadikan korban keegoisannya. Hati nurani Rei berteriak, tapi sudah lama hati itu beku. Keegoisanlah yang lebih dominan. Keegoisan untuk memiliki. Keegoisan untuk tidak mau kehilangan lagi. Keegoisan untuk terlalu protektif. Rei yakin, keegoisan ini pada saatnya nanti, atau mungkin saat ini sudah, akan membuat Rinai banyak terluka. Rei mengingkari janjinya sendiri saat ia berkomitmen untuk selalu membuat Rinai bahagia. Rinai yang memilih ini semua.

Rinai HujanWhere stories live. Discover now