Rinai Hujan 17

5K 340 1
                                    


Hujan kembali mengguyur kota Bandung di sore hari. Ternyata hujan juga membanjiri mata Rei. Jika ditanya mengapa, maka Rei tidak akan bisa menjawab alasan mengapa ia menangis. Ia sendiri tidak tau. Apa ia menangisi Clery? Rei akan menjawab dengan tegas: tidak! Selama dua tahun ini saat mengenang Clery, ia tidak pernah menangis. Kalau pun menangis, ia tidak akan mengeluarkan air mata. Clery tidak boleh melihatnya menangis. Ia kuat, lebih kuat dari Rain. Lalu ia menangis untuk apa? Atau untuk siapa? Rei tetap tidak menemukan jawabannya. Ia ingin menangis, maka ia menangis. Dan disinilah ia menangis, gazebo kebun.

Tangannya mencoba terjulur, menyentuh air hujan. Ia memejamkan mata, mencoba merasakan. Suara gemericik air hujan menyambut indra pendengarannya. Tetesan air yang jatuh ke telapak tangannya menimbulkan rasa geli yang menyenangkan. Ia tetap terpejam, merasa nyaman. Tiba-tiba ia merasa sebuah tangan lain menopang tangannya. Ikut merasakan tetes air hujan bersamanya. Suara gemericik itu kini diikuti suara tawa seseorang. Suara itu adalah suara yang sangat dirindukan Rei. Suara yang selama dua tahun ini tidak akan pernah ia lupakan. Rei tidak ingin membuka mata, ia takut jika ia membuka mata maka suara itu akan hilang. Ia takut semua ini hanya sebuah halusinasi karena kerinduannya yang begitu besar.

"Buka mata Kakak..." suara itu seakan menuntun Rei untuk membuka kelopak matanya secara perlahan.

Tuhan, apa ini halusinasi? Dia ada di depanku dan dia terlalu nyata. Seorang bidadari yang sudah Kau ambil kini kembali ke bumi. Dan ia datang tepat disaat aku menangis!

Clery tersenyum, tangannya terjulur dan mengusap air mata Rei. Rei tidak berkedip. Ia memandang Clery yang tampak begitu cantik dengan gaun putihnya. Sekarang ia benar-benar seorang bidadari. Wajahnya masih sama seperti dua tahun yang lalu.

"Clery..." hanya itu yang bisa Rei ucapkan dari sekian banyak kata yang ingin ia sampaikan pada Clery.

"Aku disini, Kak..." balas Clery lembut.

"Jangan pergi lagi..." Rei memohon dengan suara parau.

"Aku nggak pernah pergi. Aku selalu ada di hati Kakak," Clery perlahan menggenggam tangan Rei. Rei bisa merasakan tangan Clery begitu dingin dan pucat.

"Aku cinta kamu!" perlahan Rei mengungkapkan perasaannya. Clery harus tau tentang itu, bukan hanya lewat sebuah buku, tapi langsung terucap dari bibirnya.

"Aku tau," jawab Clery dengan senyum yang mampu membuat Rei merasakan sebuah kebahagiaan yang selama ini ia nantikan. "Kakak bisa kasih alasan kenapa Kakak cinta aku?"

Tanpa berpikir panjang, Rei langsung menjawab, "karena kamu istimewa. Setiap aku ada di deket kamu, pasti aku merasa bahagia."

"Aku sayang Kak Rein."

Mata Rei kembali berkaca-kaca. Ia menangis lagi. Tangis bahagia. Tidak pernah ia merasa sebahagia ini seumur hidupnya.

"Kak, biarkan aku selalu ada di hati Kakak, tapi jangan tutup hati Kakak terhadap orang yang mencintai Kakak. Aku juga tau saat ini Kakak sedang jatuh cinta."

"Nggak sebesar cintaku ke kamu," Rei menegaskan.

"Berarti Kakak tetap mencintainya. Seandainya Kakak bisa baca hatiku mungkin Kakak akan tau betapa besar aku sayang sama Kakak, juga Kak Rain. Aku sedih saat harus ninggalin kalian karena kalian adalah harta yang paling berharga. Tapi yang bikin aku lebih sedih adalah saat melihat kalian juga terlarut dalam kesedihan yang seharusnya nggak pernah ada. Keinginan terbesarku adalah melihat kalian bahagia. Melihat kalian tertawa dan tetap menjalani hidup kalian dengan baik. Yang harus kalian mengerti, aku pergi bukan berarti aku ninggalin kalian. Aku tetap bersama kalian. Jadi, Kak Rein, jangan sedih lagi. Kakak juga harus berani mencintainya. Karena aku yakin dia bisa menjadi bidadari kakak yang akan selalu setia bersama Kakak, selain aku. "

Rinai HujanWhere stories live. Discover now