Rinai Hujan 4

6.9K 389 2
                                    


Pagi yang cerah, tapi tidak secerah kondisi Rinai. Ia sakit. Gara-gara kemarin kehujanan. Badannya demam tinggi dan ia tidak kuat untuk beranjak dari tempat tidur. Akhirnya terpaksa hari ini Rinai yang tidak masuk. Ia hanya bisa bergelung di dalam selimut merasakan meriang yang sangat menyiksanya. Re datang dengan membawa senampan susu panas dan bubur ayam yang langsung ia letakkan di meja tepi ranjang.

"Nih ada susu sama bubur dari Oma. Dimakan ya, Rin. Awas aja sampai gue pulang sekolah nanti nih makanan masih utuh. Ya udah kalau gitu gue berangkat dulu."

Setelah berpamitan, Rei mengelus-elus rambut Rinai kemudian mendaratkan sebuah ciuman di kening Rinai. Membuat Rinai yang terpejam itu langsung membelalakkan mata.

"Nggak usah macem-macem deh lo! Sukanya nyari kesempatan di dalam kesempitan. Coba aja kalau nggak sakit, udah gue tabok pipi mulus lo itu biar ada cap lima jari gue. Mau?!" ancam Rinai. Ia mengusap-usap keningnya yang tadi dicium oleh Rei.

"Hehehe... GR banget sih lo. Lo kira gue mau gitu cium lo? Nggak, Rin. Cuma gue lakuin itu biar lo cepet sembuh. Lihat aja ya, ciuman gue itu obat mujarab," Rei tersenyum nakal. Ia segera berbalik dan berjalan menuju pintu. Sebelum menutup pintu Rei berbicara lagi, "inget ya, Rin, abisin makanan lo. Semoga cepet sembuh. Bye."

Rinai memandang kepergian Rei dengan bersungut-sungut. Tapi disisi lain, ia merasa senang. Rei begitu perhatian padanya, meskipun kadang ia sangat cerewet. Rinai merasa seperti...

Deg! Jantung Rinai seakan berhenti. Perhatian seperti ini, perlakuan seperti ini, mengingatkan Rinai pada seseorang yang sangat ingin ia lupakan. Seseorang yang dulu begitu berarti bagi Rinai, bahkan mungkin sampai saat ini, meskipun Rinai berjuta kali mencoba menyangkal rasa yang sudah terpatri di hatinya.

Rinai tiba-tiba melupakan rasa sakitnya. Ia tidak ingin berlama-lama bergelung di tempat tidur. Tidak melakukan apa-apa malah membuat pikirannya kacau, apalagi jika mengingat semua kenangan yang sudah berhasil menghancurka hatinya. Rinai mencoba bangkit dari ranjang. Ia melihat susu dan semangkuk bubur panas pemberian Rei sudah tersaji di meja. Ia segera meminum beberapa teguk susu, setelah itu menguatkan kakinya untuk beranjak ke luar kamar.

***

Harum aroma mawar menusuk hidung. Rain mencoba menghirup aroma ini sebanyak-banyaknya. Aroma seperti ini seakan adalah oksigen merk khusus baginya. Pagi ini sungguh sempurna. Kicauan burung seakan menyanyikan melodi yang indah baginya. Setelah puas menghirup aroma pagi ini, Rain berjalan menuju gazebo taman. Dari situ ia bisa melihat hamparan kebun yang luas, bahkan rumah Oma dan Opa. Rain diam. Mencoba menikmati apa yang ada di depan matanya sekarang. Dulu disini pernah ada kenangan yang indah. Kenangan yang selalu menjadi obat disaat hatinya kacau. Kenangan yang mampu menyembuhkan disaat hatinya berdarah. Kenangan tentang seseorang yang sangat dikasihi. Seseorang yang sangat mencintai mawar. Seseorang yang selalu menjadi kekuatan bagi Rain. Dan saat orang itu pergi, Rain seperti kehilangan separuh nyawanya karena ia sangat menyayanginya.

"Ngelamunin apa pagi-pagi?" suara itu menyadarkan rain dari lamunannya. Ia mendongak, dan melihat gadis itu sudah berdiri di depannya. Masih dengan piama tidurnya.

"Nggak ngelamunin apa-apa, Rin. Lagi menikmati pagi aja. Lo mau nemenin, kan? Duduk di sebelah gue," Rain menawarkan sambil menepuk-nepuk lantai kayu di sampingnya. Rinai segera menerima tawaran itu. "Lo nggak sekolah?"

"Lagi demam, Kak, gara-gara kemarin kehujanan," jawab Rinai.

Rain segera mengulurkan tangannya dan memegang kening Rinai. Rinai yang mendapat perlakuan tak terduga itu langsung sport jantung. Tiba-tiba mata mereka bertemu. Hening. Mereka saling memandang dengan pandangan yang sulit diartikan. Rain seperti terpaku memandang wajah gadis disampingnya yang sudah merona. Sedetik kemudian Rain tersadar dan melepaskan tangannya dari kening Rinai.

Rinai HujanWhere stories live. Discover now