"Kita tidak pernah punya waktu untuk berbicara, Rein. Saat itu masalah kalian dan Papa hanya soal komunikasi. Papa juga tidak pernah tau kalau kalian punya pikiran bahwa Papa menikah lagi," mata Papa masih sendu tapi ia sedikit lega telah menceritakan sebuah kebenaran pada kedua putranya. "Masalah Papa meninggalkan kalian, kalian sudah tau. Untuk itu Papa sungguh minta maaf. Papa ingin memperbaiki hubungan keluarga kita. Meskipun sekarang tidak ada Clery. Papa berharap kalian tidak akan pernah berubah demi Papa. Kalian anak Papa, dan selamanya kalian akan tetap menjadi anak Papa."

Kali ini Rei akan menjadi orang yang paling jujur. Jika selama ini ia terlalu pandai menyembunyikan air matanya, maka sekarang saatnya ia membuka topeng yang selama ini ia pakai. Ia akan menangis jika ia ingin menangis, terlebih di hadapan orang yang sungguh ia sayangi. Rei menangis. Di hadapan Papa dan Rain. Air mata yang dulu selalu ia cegah untuk keluar. Tangan Rei menggenggam erat tangan Rain. Mereka beradu pandang.

"Rain Alfredo, kalau lo nggak mau terima permohonan maaf Papa biar gue yang minta maaf sama lo. Gue terlalu lelah. Gue pingin kita balik kayak dulu. Gue mohon lo mau nerima Papa. Gue yakin lo masih punya hati nurani buat mempertimbangkan ini semua. Lo udah dewasa dan lo bisa nilai tentang ini semua," Rei memohon sambil terisak. Ia tidak peduli bahwa sekarang ada beberapa pasang mata yang sedang memperhatikan mereka.

Rain bertahan dalam geming. Rei bisa merasakan tangan Rain begitu dingin dan gemetar. Rei bisa memahami perasaan kakaknya. Maka dari itu ia memohon sekali lagi, "gue mohon, Rain. Ada saatnya masalah itu muncul, tapi ada saatnya juga masalah itu berakhir."

Perlahan, Rei bisa melihat bibir Rain tertarik keatas. Ia tersenyum. Senyum tulus yang keluar dari hatinya. Ia tersenyum pada Rei, kemudian tersenyum pada Papa. Tidak ada kata-kata lagi yang perlu diucapkan. Sebuah senyuman sudah mampu menjawab segalanya.

***

Lo salah lihat, Rin! Lo salah lihat!

Berkali-kali Rinai meneriaki dirinya sendiri di dalam hati. Ia berlari menuju rumah. Ia harus cepat sampai. Jangan sampai sosok itu berhasil mengejarnya. Baru kali ini Rinai merasa jarak rumah Oma dengan minimarket sangat jauh. Ia terus berlari, nafasnya terengah-engah, tapi sedikitpun ia tak boleh berhenti. Rumah Oma sudah tinggal beberapa meter lagi. Tetapi Rinai belum bisa tersenyum lega. Segala sesuatu bisa saja terjadi di dalam kondisi yang paling darurat seperti saat ini. Dan benar saja, hanya berjarak dua ratus meter dari rumah Oma, sebuah tangan mencengkeram lengan Rinai. Ia tertangkap! Ia tak bisa berlari lagi. Ya Tuhan, teganya Engkau, hanya kurang 200 meter lagi!

Mau tidak mau Rinai harus maju. Ia sudah tidak bisa mundur. Rinai memberanikan diri memandang seseorang di depannya. Sepasang mata kelam itu memandang Rinai dengan tatapan sendu. Tubuhnya jangkung dan teramat kurus. Rambutnya sedikit panjang dengan poni yang menjuntai hampir melewati mata. Ia hanya mengenakan celana jeans belel dan kaos polos berwarna abu-abu. Dimata Rinai, ia masih tetap tampan meskipun dalam keadaan berantakan seperti ini. Andai ia bisa memutar waktu untuk bisa kembali memeluk laki-laki di hadapannya ini...

"Rinai, akhirnya kita bisa ketemu lagi," kata cowok itu sambil tetap memegang lengan Rinai agar Rinai tidak bisa lari lagi.

"Buat apa lo kesini?!" sentak Rinai berusaha menarik tangannya dari cengkeraman cowok itu.

"Buat nyari kamu, Rin. Aku mau bilang kalau aku bener-bener nyesel sama apa yang udah aku lakuin ke kamu. Sejak malam itu aku selalu kepikiran kamu tapi aku terlalu pengecut untuk berani ketemu sama kamu lagi."

"Basi!!! lo udah berhasil bikin gue hancur, sekarang apa lagi, hah?!" amarah Rinai yang selama ini terpendam akhirnya keluar. Tirta bersujud padanya pun tidak akan bisa menyembuhkan luka hatinya.

Rinai HujanWhere stories live. Discover now