"Demam lo tinggi banget. Kenapa nggak istirahat di kamar aja? Lagian disini juga dingin, lo nggak pake jaket, lagi," kata Rain, kemudian ia kembali memandang hamparan kebun mawar.

"Penyakit itu nggak boleh dimanja, Kak. Ntar malah nggak sembuh-sembuh. Hehehehe..." Rinai berusaha bercanda.

"Rin, wajah lo pucet banget. Tapi lo tetep cantik. Lo selalu kelihatan cantik. Andai dia masih ada disisi gue, dia pasti secantik lo. Tapi sayang, dia udah nggak ada." Rain kembali melamun.

"Dia siapa, Kak?" Rinai masih terlalu bingung untuk mengartikan ucapan Rain barusan. Apakah ucapan itu tertuju padanya? Tapi Rinai bisa menangkap bahwa Rain mengatakan itu semua tanpa kesadaran. Seakan itu adalah suara alam bawah sadarnya. Rain diam, Rinai segera menyenggol bahunya. "Kak?"

"Eh, kenapa, Rin? Barusan gue ngomong apa, ya?" Rain, untuk kesekian kalinya, tersadar dari lamunannya.

Rinai hanya tersenyum kecil, kemudian menggeleng pelan. Dugaannya benar. Rain tidak tau apa yang barusan dia ucapkan. Itu adalah suara alam bawah sadarnya. Tapi apa maksudnya? Siapa yang Rain maksud dengan 'dia'? apa seseorang yang sangat berarti bagi Rain? Atau mantan pacar Rain? Rinai mengenyahkan pikiran-pikiran itu dari otaknya. Ini bukan urusannya, dan Rinai tidak mau ikut mencampuri urusan orang lain. Rahasia Rain, biarlah Rain sendiri yang tau.

***

"Nih lagu liriknya cengeng banget sih?!"

Rei meremas kertas itu menjadi gumpalan kecil, kemudian membuangnya ke tempat sampah. Ia menekuk badannya dan merebahkan kepalanya di meja dengan alas tangan. Otaknya sedang berpikir keras. Beben, Erza, dan Tobby hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kelakuan leader mereka. Sementara Onie tetap cuek sambil melanjutkan membaca komik death note seri terbaru.

"Lo lupa kalau tuh lagu bikinan lo sendiri? Lo juga baru nulis liriknya lima belas menit yang lalu," Beben mengingatkan.

Rei langsung mendongakkan kepalanya sambil mengangkat kedua alisnya. "Maka dari itu gue sampai nggak tega baca, bikin gue pingin muntah!"

Tiba-tiba Onie meletakkan komiknya. Ia beranjak menuju tempat sampah dan memungut kertas berisi lirik lagu itu. Membuka gumpalan kecil itu, kemudian membaca tulisan yang ada di dalamnya. Rei, Tobby, Beben, dan Erza memandang Onie dengan seribu tanya. "Menurut gue liriknya oke. Yah, emang sih beberapa kalimat harus diperbaiki. Tapi maknanya dapet banget. Tinggal gimana aransemen musik kita buat nih lagu," komentar Onie. Kemudian ia meletakkan kertas itu di depan Rei.

"Lo ngomong gitu mau berusaha nyenengin hati gue, ya?" selidik Rei dengan mata menyipit.

Belum sempat Onie menjawab, Erza yang dari tadi hanya diam tiba-tiba mengambil kertas itu dan ikut membaca liriknya. "Bener kata Onie. Menurut gue bagus kok. Mungkin lo bilang cengeng karena lirik ini nggak kayak ciptaan lo yang kemarin-kemarin. Ehm, istilahnya kayak bukan cirri khas lo deh. Tapi tetep oke kok. Sekali-sekali kita nyanyiin lagu yang agak melow kan bagus juga. Biar para pendengar gak bosen."

"Jelas aja bukan ciri khas dia. Dia yang biasanya nulis lagu metal tiba-tiba banting setir jadi nulis lagu romantis. Emang ini ungkapan hati lo, Rei?" sahut Onie.

Rei tersentak. Ucapan Onie barusan seperti tamparan baginya dan menyadarkan Rei akan sesuatu. Rei tersadar, kali ini ia harus benar-benar menjaga perasaannya. Karena Rei tau, hatinya sudah lama mati, dan akan tetap di buatnya 'mati'.

"Kalau gitu kita pake lagu ini buat ngisi acara pensi. Gimana, Rei?" tanya Tobby.

Rei mengangguk, kemudian beranjak dari tempat duduknya dan keluar dari kelas. Meninggalkan teman-temannya. Ia butuh ketenangan saat ini.

***

Sesampainya di rumah, Rei tidak langsung masuk ke dalam. Ia berlari menuju kebun mawar. Ia bersandar di tangga gazebo, kemudian memerosotkan tubuhnya. Melihat mawar yang indah, mengingatkannya pada seseorang yang dulu menjadi bagian dari hidupnya. Seseorang yang selalu membawa kebahagiaan bagi orang lain di atas segala keterbatasannya. Seseorang yang sangat menyukai mawar.

Dan ia berada disana! Rei melihatnya! Ia melambaikan tangannya sambil tersenyum manis. Dengan kalap Rei segera menghampiri gadis itu. Ia ingin memeluknya, ia ingin mendekapnya. Jika bisa, seumur hidupnya. Gadis itu berlari mengelilingi kebun, gerakannya lincah, anggun dan cepat. Membuat Rei kelelahan mengejar. Tapi saat jarak mereka semakin dekat, gadis itu semakin menjauh. Rei tetap mengejar sebisa yang ia mampu. Tapi gadis itu terlalu cepat. Terlalu cepat, sampai akhirnya menghilang.

"Jangan pergi!!! Gue mohon jangan pergi lagi!!!"

Rei tersadar dari fatamorgananya. Disini tidak ada siapa-siapa. Rei menjambak-jambak rambutnya dengan frustasi. Ia menjatuhkan diri di tanah. Raganya lelah. Batinnya juga lelah. Dan ia tau apa yang harus ia lakukan sekarang. Kembali ke rumah dan berpura-pura seolah tidak pernah terjadi apa-apa pada dirinya. Kali ini ia menang, karena pertahanannya masih berdiri kokoh. Ia tidak mengeluarkan air mata. Sedikit pun tidak.

***

Gadis itu masih bergelung di dalam selimutnya. Rei mendekat, kemudian duduk di pinggir ranjang. Ia tersenyum saat melihat susu dan bubur yang ia siapkan sudah habis. Kemudian pandangannya beralih pada sosok mungil di balik selimut itu. Rinai sedang tertidur. Rei menyentuh kening Rinai dengan punggung tangannya. Demamnya sudah lumayan turun. Ini seperti déjàvu bagi Rei. Rei dulu pernah melakukan hal yang sama terhadap seorang gadis. Merawat gadis itu dengan penuh ketulusan. Rei kembali tersenyum saat mengingat semuanya. Dengan pelan, ia menyibak rambut-rambut halus yang jatuh menutupi mata Rinai. Tiba-tiba Rinai bergerak. Gerakan yang terlihat sangat gelisah, tapi matanya tetap terpejam. Re yang ada di dekatnya segera menepuk-nepuk bahu Rinai.

"Rin, bangun! Lo kenapa?!" seru Rei dengan panik sambil terus menggoyang-goyangkan bahu Rinai.

"NGGAAAAKKKK!!!!" Tiba-tiba Rinai terlonjak dari tidurnya. Nafasnya terengah-engah, di tambah dengan keringat dingin yang turun dari puncak kepalanya.

"Lo kenapa, Rin?!"

Suara itu membawa Rinai kembali ke alam nyata. Rinai hanya bisa menunduk kemudian menangis tersedu-sedu.

"Lo mimpi buruk?" Rei mengelus-elus kepala Rinai. Berusaha menenangkan.

"Lebih dari mimpi buruk, Rei. Saking buruknya sampai gue nggak bisa lepas dari itu semua!!!" Rinai histeris.

Rei segera menarik Rinai ke dalam pelukannya. Kembali menenangkan. Tidak akan ia biarkan wajah di depannya ini berurai air mata. Tidak akan pernah. Bahkan ia rela mempertaruhkan seumur hidupnya untuk membuat gadis ini bahagia. Untuk menebus kesalahannya di masa lalu.

"Jangan nangis lagi, Rin. Lo boleh cerita apa aja sama gue. Apa aja, buat ngeringanin beban pikiran lo."

Rinai sedikit kaget dengan perhatian Rei. Tapi memang itu yang ia butuhkan saat ini. perhatian dari seseorang yang bisa ia percaya. Ya, ia memang ingin mempercayai Rei. Rinai mendongak, menatap Rei lama sebelum ia memutar pikirannya kembali ke masa lalu. Mengingat semua kenangan buruk yang menghantuinya.


TBC

Rinai HujanWhere stories live. Discover now