11. Fated

47.3K 5.8K 350
                                    

Wendy sudah berada di kamar Sehun, ia habis memarahi adiknya karena tidak membangunkan untuk sekolah. alih-alih membalas amarah kakaknya. Sehun justru melamun tak mendengarkan, pikirannya masih pada kejadian di sekolah.

Wendy menepuk pundak adiknya yang duduk di pinggiran kasur. "Kenapa? Kok ngelamun gitu?" Wendy tak ingin menerka-nerka yang adiknya pikirkan, tetapi Sehun jarang sekali seperti ini.

Sehun menoleh menatap kakaknya. "Lah! Sejak kapan kakak di sini?"

Wendy mendorong dahi adiknya memakai jari telunjuknya. "Berarti aku ngoceh dari tadi nggak kamu dengar?" tanya Wendy kesal. Sehun menggeleng menanggapi.

"Ada apa? Kenapa kamu jadi nggak fokus gini?" tanya Wendy. Sehun menoleh menatap kakaknya, lalu menggelengkan kepalanya beberapa kali.

Sehun bangkit dari duduknya, lalu menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Wendy menyorot punggung adiknya yang bertingkah tidak seperti biasanya.

Jasmin lagi? batin Wendy, ia sangat khawatir. Biasanya Sehun tidak pernah peduli dengan masalah oranglain.

⚫🎑⚫

Sehun sudah selesai dengan kegiatannya. Ia berjalan menuruni anak tangga. Pemuda itu ingin mengisi energinya. Wendy pun berada di meja makan. Bersama dengan kedua orang yang bekerja merawat mereka sejak kecil.

Wendy melirik adiknya yang masih fokus dengan makan malamnya. "Kamu kenapa tadi ngelamun?"

Sehun mendongak menatap kakaknya yang duduk seberang kursinya. "Nggak apa-apa, Kak. Bentar lagi ujian tengah semester."

Wendy mengerut dahi. "Terus kenapa? Kamu kan nggak pernah ngalamin kesulitan belajar."

"Aku lagi mikirin cara gimana ngalahin tuh cewek. Dia bisa ngerebut posisiku." Sehun berbohong demi menyelamatkan dirinya dari pertanyaan lain.

"Bohong." Wendy menyorot tajam pada Sehun. Pemuda itu terkejut lalu tersenyum pada Wendy, memang kakaknya itulah yang selalu bisa membaca kebohongannya.

"Kamu abis ini ke mini market terus beliin permen cupacupa." Wendy meminta.

Sehun menyerngit. "Permen cupacupa?"

Wendy mengangguk lalu menengak segelas air putih. Beruntung transplantasi ginjal yang ia lakukan berhasil, walaupun ia tetap harus meminum obat yang diresepkan oleh dokter seumur hidup. Yang keluarganya harapkan adalah ia tidak perlu melakukan transplantasi ginjal berkali-kali.

⚫🎑⚫

Sehun berada di pinggir jalan. Ia berada di pusat kota setelah berjalan kaki tak jauh. Walaupun hujan belum turun, Sehun sudah memakai payungnya karena ia malas menentengnya.

Netranya membola kala ia melihat sosok Mauza yang berdiri tak jauh darinya. Air hujan mulai turun, suara petir tidak menggangu sorot kesalnya pada Mauza.

Gadis itu menatap Sehun dengan raut terkejut, lalu berlari menjauhinya melewati hujan. Mereka kejar-kejaran sampai pada titik di tengah jembatan layang. Sehun terengah-engah, tetapi Mauza tidak karena ia adalah hantu. Jantungnya sudah tidak berdetak lagi.

"Kenapa kamu ngejar aku?" tanya Mauza dari jarak tak jauh dari Sehun.

Sehun tersenyum miring. "Apa sebenarnya rencana kamu ngedekatin Jasmin?"

Mauza tertawa, terdengar menakutkan di telinga Sehun. "Jangan bilang kamu peduli dengan Jasmin."

Sehun menyorot Mauza kesal. "Dia orang yang paling dicintai Kaisar," tegas Sehun. "Jangan ganggu dia."

Mauza memasang wajah muram. "Cinta ya? Jasmin udah tau lebih banyak dari yang kamu kira, Sehun. Menurut kamu dia bakal berhenti di tengah jalan?"

"Aku nggak peduli denganmu, Mauza. Dari dulu kamu tau kalau aku benci dengan kamu. Jangan sampai buat Jasmin terluka kayaktadi lagi. Kamu pasti tau gimana khawatirnya Kaisar tadi." Sehun menegaskan, lalu memutar badannya membelakangi Mauza.

Sehun melangkah pergi menjauhi Mauza, gadis itu melayang mengejar Sehun lalu berhenti di hadapannya. "Kalau aja aku ngedengarin omongan kamu waktu itu, mungkin aku nggak bakalan berakhir kayak gini 'kan?" tanya Mauza dengan sorot layu.

"Kamu nggak bisa lari dari kematian, Mauza. Walaupun kamu menghindar, atau melewatinya, kematian itu bakalan selalu berhasil berada di depanmu." Sehun berjalan melewati Mauza tanpa mau memperpanjang obrolan mereka.

Memang benar kematian itu adalah hal yang pasti, sekeras apapun kamu menghindarinya kematian itu pasti akan memotong jalan yang kamu buat sendiri. Lebih tepatnya, kematian itu tidak dapat dihindari.

"Aku tau itu, Sehun. Nggak perlu kamu jelasin." Mauza menundukkan kepalanya lesu, seharusnya ia tidak mendengarkan kalimat itu dari Sehun. Nyatanya, ia hanya ingin pulang dan pergi dari dunia ini.

⚫🎑⚫

Sehun berada di taman dekat rumahnya, ia duduk di kursi taman. Menikmati ice cream yang ia beli. Rasa ngilu pada dinding mulutnya tak ia pedulikan. Sehun merasa bahwa perkataannya pada Mauza sangat keterlaluan.

Sehun mengingat kembali, saat ia menghadang Mauza di tangga menuju lantai 1 sebelum menemui Linda. Saat itu Kaisar sedang sakit, ia tidak masuk sekolah.

"Kamu itu emang suka ngerepotin orang ya? Kamu selalu ngelarang kami ikut campur, tapi kamu sendiri nggak punya keberanian untuk ngelawan mereka." Sehun mengkritik sikap Mauza.

Mauza melipat kedua tangannya di dadanya. Ia kesal dengan tingkah Sehun. "Cih! Lagian kamu juga nggak usah sok berani. Ini cara aku nyelesain masalah dengan mereka, nanti kalau timing-nya tepat. Aku bakalan balas mereka."

"Mending kamu pulang, kamu nggak perlu nemuin Linda di pohon belakang sekolah. Mulai besok kan libur semester, jadi kamu nggak bakalan ketemu mereka, lagi pula," papar Sehun, "kamu nggak ke rumah Kaisar? Dia lagi sakit."

Mauza tersenyum. "Justru karena ini hari terakhir sekolah, aku mau ngasih pelajaran ke mereka. Aku titip salam untuk Kaisar." Mauza menepuk pundak Sehun, lalu berjalan menjauhi Sehun.

Sehun tidak mempercayai itu adalah hari terakhir mereka bertemu. Itulah pertamakalinya bagi Sehun peduli pada Mauza.

Sehun kembali pada lamunannya. "Semua orang pasti bakalan meninggal pada waktunya." Sehun teringat pada pesanan kakaknya lalu berjalan menuju rumahnya kembali.

⚫🎑⚫

Sehun masuk ke dalam kamar kakaknya dengan pakaian setengah basah. Tetapi basahnya masih bisa tertolong, rautnya lesu menatap kakaknya.

"Nih Kak pesanannya, permen cupacupa." Sehun membawa setoples permen bertangkai lalu menyodorkan pada kakaknya.

Sehun berjalan menuju kasur kakaknya lalu membaringkan tubuhnya. Wendy tersenyum, caranya berhasil. Jika Sehun tak kembali ke kamarnya dan menetap di kamar Wendy itu artinya Sehun akan mencertikan masalahnya. Wendy akan selalu bersedia mendengarkan ceritanya.

"Kak, beneran lho, dia itu Mauza." Sehun menutup matanya menggunakan lengannya.

Wendy terkejut, ia menoleh pada adiknya lalu berjalan mendekati adiknya dan membaringkan tubuhnya di sisi Sehun. "Terus gimana? Kamu bakalan diam aja?"

"Dia udah celakain Jasmin, Kak. Aku berdiri di antara dua pilihan, bantuin dia atau ngusir dia?" Sehun menjelaskan.

"Mauza nggak akan gitu, Sehun." Wendy tak mempercayai perkataan adiknya.

"Jasmin itu spesial. Dia punya kemampuan sama kayak kita tapi jenisnya beda. Raganya bisa jadi medium untuk dirasuki, tapi nggak dengan paksaan. Dia itu udah kaya dukun," ujar Sehun.

"Dia kayaknya menikmati kemampuan dia ya?" tanya Wendy.

"Yah! Gitulah. Terus hari ini, Mauza nyoba masuk ke dalam tubuh dia. Yang terjadi, Haahh," lenguh Sehun, "Jasmin sakit. Kaisar khawatir banget." Sehun memiringkan tubuhnya menyorot kakaknya.

"Oh, jadi raga dia nggak bisa dijadiin medium kalau dengan paksaan?" tanya Wendy.

Sehun mengangguk. "Terus Jasmin nyari pelaku yang ngebunuh Mauza. Aku takut pelakunya salah satu dari dua orang di kelasku. Linda ... atau Ghibran."

✔ INDIGO 1 | Kematian Gadis ItuWhere stories live. Discover now