Melihat keterdiaman kembarannya Alevin menjadi jengah sendiri, Agassa hanya membuang-buang waktunya jika begini. "Ngomong aja."
Maniknya terpejam erat, tarikan nafas panjang sebelum menghembuskannya pelan yang ia lakukan untuk menenangkan diri. Perlahan kelopak matanya terbuka, Agassa masih dengan senyumannya kembali membuka bibir. "Kenapa hindarin gue?"
"Lo minta ke semua orang buat gak ngasih tau lo ada disini. Kenapa? Lo segitunya gasuka sama gue?"
Tak ada jawaban, Levin hanya terdiam berpaling menatap sudut ruangan yang terlihat lebih menarik, membiarkan Agassa berspekulasi dengan pikirannya sendiri.
Meskipun begitu, Agassa tak berpaling sama sekali dari sosok adiknya. "Lo kalau dari awal gasuka sama gue bilang. Jangan lo bilang lo sayang sama gue pas gue sekarat."
Entah mengapa kalimat itu terdengar mengiris hati mungilnya. Levin tentu saja menyayangi Agassa seperti ia menyayangi kedua orang tuanya, dalam hidupnya selain Sakura, tak pernah ia merasa sangat diperhatikan seperti yang di lakukan Agassa, memanjakannya, menganggapnya anak kecil, memahami emosinya dan menerima masalalunya.
Agassa terlalu baik untuk menjadi kembarannya, dan seharusnya pemuda sebaik itu tak berada di dekat seorang pembawa sial sepertinya.
"Ngomong Lev! Jelasin ke gue biar gue gak susah-susah nyariin lo kayak orang gila!" Sarkas Agassa. Ia tak mengerti lagi harus bagaimana menghadapi Levin.
Jantung Levin terasa mencelos, ia mungkin tahu jika Agassa akan mencarinya, namun ia tak tahu bagaimana sulitnya. Dan kakaknya sungguh tak menyerah untuk mencarinya hingga kini sudah berada di hadapannya. Levin tidak ingin mengecewakannya, tetapi "Mending lo pulang Gas."
"Lo udah ketemu gue kan? Udah tau gimana kondisi gue. Mending lo pulang sekarang." Lanjutnya.
"Pulang? Gue bakal pulang kalau sama lo!" Karena Agassa sungguh tak ingin kembali kehilangan saudaranya yang sudah susah payah ia cari. "Jangan pikir lo doang yang bisa egois!"
Kata-kata terakhir itu seketika menyulut emosi si bungsu, kepalanya langsung menoleh menatap lekat tepat di kedua manik Agassa. "Gue egois punya alesan ya anjing!!"
"Jelasin alasan lo biar gue pulang sekarang!!"
Terdiam, giginya saling beradu dengan rahang yang mengeras, kedua alisnya menukik tajam. Dirinya sungguh tak tahu harus berkata seperti apa.
Melihat keterdiaman sang adik, tatapan Agassa melunak, sejenak maniknya terpejam untuk meredakan emosinya kembali. Helaan nafas berat terdengar sebelum ia berucap. "Lev? Lo bilang kalau ada masalah udah mau bagi sama gue?"
"Sekarang kenapa lo malah telen sendiri?"
Agassa mengangkat kantung kresek yang di bawanya, mengambil sebuah isinya sebelum mengupas kulit jagung rebus yang masih menempel itu.
Levin menatap jagung rebus yang terlihat menggoda di tangan Agassa dengan tatapan sendu. Otaknya berkelana memikirkan ucapan itu, Agassa mungkin berkata jika semuanya akan baik-baik saja dan menerima dengan lapang dada. Tapi hal itu hanya untuk saat ini, bagaimana dengan kedepannya? Akankah tetap baik-baik saja jika Agassa terus bersamanya?
"Lo adek gue. Gue abang lo. Lo tanggung jawab gue Lev!"
"Kita punya Mama, kita punya Papa, mereka punya kita. Wajar kalau kita saling bagi masalah. Kalau lo diem, gimana mau dapet jalan keluar? Lo juga tau itu kan? Sebelumnya juga gitu."
Tangan kanan Agassa menggenggam jagung yang sudah bersih itu terulur kepada Levin. Si bungsu hanya menatap, otaknya masih memproses kata-kata yang keluar dari bilah bibir sang kakak.
Memang benar adanya, saat ia bercerita pada Agassa malam itu untuk pertama kalinya, pundaknya terasa lebih ringan dan perlahan titik-titik masalah dapat terlihat. Saling bertukar pikiran juga membuat mereka dapat mengerti satu sama lain, dan Levin akui itu sedikit menyenangkan.
"Kalau lo masuk sini gara-gara cuma ngerasa bersalah sama gue, gue gak masalahin itu Lev!"
Levin mengangkat wajahnya, retinanya kembali merekam senyum lembut Agassa yang tak pernah ia lihat selama satu tahun ini.
"Bahkan gue seneng soalnya bisa lihat lo manggil gue Abang!" Kekehan diakhir kalimat itu entah mengapa membuat Levin merasa malu.
Si bungsu kembali memalingkan wajahnya, menyembunyikan rona merah yang perlahan timbul di kedua pipinya. Dalam hati ia mengumpat untuk dirinya sendiri karena mengatakan hal itu, tentu saja ia tak lupa bagaimana bibirnya mengucapkan kata itu.
Dan kalimat Agassa selanjutnya sungguh membuatnya malu setengah mati.
"Mana lo manggil diri lo adek lagi. Gue gak sekarat udah gue ungkep lo Lev sumpah!"
"Diem lo bangsat!!" Mulut si bungsu memaki, dirinya langsung berbalik duduk membelakangi sang kakak, ia sungguh sangat malu sekarang.
"Hahaha!" Agassa tertawa kecil, ia sungguh rindu menggoda Levin yang akan sangat menggemaskan saat marah. "Apalagi pas lo nangisin gue Lev!"
"Plisss gisss jingin pirgiii.. jingin tinggilin gwii!! Ahahahahah!"
Tepat di depannya, Levin melihat satu kotak tisu dan langsung meraihnya, melemparkan benda itu pada sang kakak yang tertawa terbahak di tempatnya.
"Bacot lo kont*l!!!
Sungguh Levin sangat malu jika mengingat itu semua.
Brak!!
"Ashhhh!!!"
Dan kotak tisu itu tepat mengenai lengan kiri Agassa yang memiliki bekas luka. Membuat yang empu langsung mengangkat lengannya dan meniupnya pelan.
Levin sontak berbalik dengan cepat menyadari jika lemparannya itu menyakiti kakaknya. Wajahnya terlihat panik, ia berdiri lantas menghampiri Agassa yang terlihat kesakitan. Sungguh Levin melupakan jika kakaknya itu sedang dalam kondisi tak baik-baik saja.
Melihat luka Agassa yang memerah dan kembali mengeluarkan darah, wajah Levin sungguh tak bisa bohong jika pemuda itu sangat khawatir dengan kondisinya. Maniknya langsung menyusuri rungan itu, seingatnya ada kotak p3k yang di letakkan di setiap ruangan.
Dan tak butuh waktu lama, benda yang dicarinya terlihat begitu jelas tertangkap mata. Levin bergegas mengambilnya, dengan tangan bergetar dan nafas tercekat ia membuka benda itu dengan cepat sebelum mengobrak-abrik isinya untuk mengobati luka sang kembaran.
Agassa hanya diam, menatap sang adik yang sibuk dengan kapas itu dengan senyuman lembut meskipun rasa sakit itu sungguh menyiksanya. Sedikitnya perasaannya terasa menghangat saat tahu jika Levin sedang tidak membencinya. Agassa tak ingin menebak alasan mengapa Levin menjauhinya selama ini, ia akan menunggu sang adik untuk siap menjawabnya sendiri nanti.
"Lev. Gue denger seminggu lagi lo bakal di eksekusi?"
...
Selamat malam yorobunn..
Semoga mimpi indah..
YOU ARE READING
A 和 A
Teen FictionAgassa, pemuda itu tak pernah menyerah untuk mencari keberadaan sang adik yang tiba-tiba menghilang dari kehidupannya. Alevin, adik dari Agassa yang selalu menghindari sang kakak karena takut Agassa akan dalam bahaya jika bersamanya. Cerita ini epi...
07. Execution
Start from the beginning
